Membuat polling menjadi salah satu fitur di media sosial. Di platform Twitter, carapun cukup mudah. Di Facebook pun fitur polling cukup menarik digunakan. Di Instagram juga bisa mudah membuat polling. Tidak hanya di medsos, fitur polling pun ada di aplikasi chat seperti Telegram atau WhatsApp.
Secara sederhana polling berarti mengumpulkan. Namun kini juga bisa berarti bagian dari instrumen survei politik untuk mengumpulkan dan merekam suara publik. Tujuannya adalah mendapatkan simpulan persepsi, opini, dan perilaku publik terhadap subjek. Polling bisa kualitatif, dengan pertanyaan terbuka atau kuantitatif dengan opsi yang disediakan.
Namun, kini polling bukan tentang tujuan di atas saja. Polling yang diadakan sebelum hari-H Pemilu bisa juga untuk mempengaruhi persepsi publik. Polling yang menonjolkan Capres tertinggi diharapkan mampu membuat orang ikut 'bandwagon effect'. Namun, tujuan polling seperti ini juga bisa menimbulkan efek bumerang bagi Capres atau partai.
Selain lembaga survei atau litbang, banyak juga yang sering membuat polling di media sosial. Polling ini juga menjadi preferensi publik terhadap para kandidat yang akan bertarung di Pilpres. Walau polling ini bisa memberikan gambaran tentang siapa yang unggul di mata netizen. Tapi juga muncul dampak positif dan negatif diperhatikan dan diwaspadai.
Dampak positif pertama dari polling Capres di medsos adalah sebagai gambaran partisipasi politik masyarakat. Dengan adanya polling ini, netizen juga dapat mengetahui profil, visi, dan misi para Capres. Kolom komentar juga bisa menjadi media menyampaikan pendapat dan dukungan.Â
Dampak positif kedua adalah polling ini juga dapat menjadi sarana edukasi politik bagi masyarakat. Dengan melihat hasil survei yang berbeda, mereka bisa membandingkannya dengan realitas di lapangan. Baik itu survei yang diterbitkan oleh lembaga survei. Atapun polling dari akun besar yang membela Capres lain.
Dampak negatif pertama adalah polling Capres di medsos sangat terbatas. Polling medsos tidak dapat merepresentasikan seluruh populasi pemilih di Indonesia. Hal ini karena mereka yang terlibat hanya yang memiliki akses internet dan memilik akun medsos. Apalagi jika yang merespon adalah akun buzzer yang mendukung Capres sendiri.
Dampak negatif kedua adalah polling Capres di medsos rentan terhadap manipulasi dan kecurangan. Penggunaan bot, buzzer, atau akun anonim jelas mempengaruhi hasil polling. Seringkali polling harus dimenangkan kubu yang membuat polling itu sendiri. Tak jarang ada serbuan akun pada polling lawan demi memenangkan Capres pilihannya.
Dampak negatif ketiga adalah polling Capres ini dapat menimbulkan polarisasi yang lebih kuat. Bisa muncul juga konflik di antara pendukung-pendukung calon yang berbeda. Hal ini terlihat dari adanya komentar-komentar negatif, hujatan, atau fitnah yang sering muncul di kolom komentar polling.Â
Dampak negatif keempat adalah polling Capres di medsos semakin memupuk sikap fanatik dan intoleran. Capres lain bukan lagi dianggap pesaing yang bermain fair. Kedua kubu kini menganggapnya sebagai lawan atau ancaman. Hal ini jelas terlihat dari meme dan posting yang seringkali mendiskreditkan atau memfitnah kandidat satu sama lain.