Saat ada satu orang asing mencaci maki, tentu ada rasa marah. Bagaimana jika dicaci maki oleh ratusan sampai ribuan orang? Bukan hanya caci maki, tapi juga teror miscall sampai doxxing data pribadi. Fenomena ini sering terjadi di dunia digital, terutama difasilitasi dan diamplifikasi  medsos.
Korban dari julidnya netizen tidak selama pelaku tindak negatif. Bisa jadi terjadi fitnah atau salah tuduh netizen. Seperti kasus seorang ibu yang mencaci maki kurir COD. Netizen terlanjur menyerbu akun medsos milik Ririn Sundari, padahal bukan. Dewi Perssik pun jengah difitnah netizen bahwa dirinya adalah perempuan tidak benar.
Aktivitas main hakim sendiri di medsos bisa disebut digital vigilantism. Korbannya sering merasakan rasa malu dan terhina apalagi nama dan wajah mereka beredar luas di medsos. Komentar negatif yang tiba-tiba datang berjejer membuat korban mungkin merasa kecemasan, depresi, dan gangguan stres.Â
Digital vigilantisme menjadi aktivitas users medsos untuk menanggapi berbagai masalah yang terjadi. Para users melakukan tindakan ini untuk dapat ikut campur, mencari solusi, bahkan menghakimi urusan orang lain. Ada beberapa jenis digital vigilantisme yang berkembang di media sosial saat ini.
Pertama adalah vigilantisme digital untuk rasa peduli. Para users peduli karena memastikan bahwa masalah yang dihadapi oleh seseorang atau kelompok diselesaikan dengan cara yang benar. Aktivitas bisa mencek fakta informasi yang menyesatkan, atau memastikan bahwa pelaku ditangani dengan baik.
Kedua adalah vigilantisme digital untuk pengawasan. Para users mengambil tindakan untuk melindungi orang atau kelompok dari ketidakadilan, kekerasan, dan pelanggaran HAM. Aktivitas yang dilakukan bisa berupa pengawasan isu, menyampaikan pendapat, atau memobilisasi users lain untuk bertindak.
Ketiga adalah vigilantisme digital untuk martabat. Tindakan para users ini untuk memastikan bahwa orang-orang dihargai dan diperlakukan dengan baik. Users umumnya mengawasi adanya perilaku yang asusila atau perilaku  tidak etis. User akan mendorong trending agar ada kepedulian pihak terkait.
Keempat adalah vigilantisme digital untuk HAM. Users medsos umumnya bertindak untuk memastikan bahwa HAM yang berlaku secara universal dipatuhi. User akan mendiskusikan dan memviralkan isu terkait penindasan dan perendahan HAM. User juga bisa memobilisasi users lain ke demonstrasi di dunia nyata.
Kelima adalah vigilantisme digital untuk akuntabilitas. Users akan memastikan bahwa penguasa atau pemerintah bertanggung jawab atas tindakan mereka. Aktivitasnya berupa pengawasan kebijakan, projek atau staf yang melanggar integritas dan hukum. Dampaknya, users akan menghakimi para penguasa dengan mendorong trending.
Para korban digital vigilantisme juga mungkin bergumul dengan perasaan tidak berdaya dan takut. Di dunia nyata, mereka merasa tidak mampu untuk mempercayai orang. Pengalaman negatif ini bisa sangat mengisolasi korban. Mungkin juga para korban merasa tidak ada orang mempercayai mereka.