Duka mendalam untuk 10 orang yang menjadi korban kerusuhan di Wamena. Karena hoaks penculikan anak, tuduhan yang menyulut kericuhan terjadi. Banyak orang khawatir bahkan takut informasi penculikan anak. Tetapi mempercayai hoaks penculikan anak lalu merugikan orang lain, tentu bukan tindakan bijak.Â
Dikutip dari Kompas.com, kerusuhan bermula ketika warga Kampung Sapalek, Wamena menghentikan sebuah mobil yang digunakan untuk berjualan, di Sinakma. Warga menuduh dua orang di dalam mobil menculik seorang anak. Kapolres dan warga sempat ingin mediasi. Namun tiba-tiba muncul sekelompok warga yang melakukan provokasi dan kemudian melakukan aksi anarkistis.
Massa yang sudah termakan hoaks dan beringas pun bertindak anarkis. Provokasi segelintir warga akhirnya menyulut kerusuhan besar. Dalam kerusuhan di Wamena, tercatat ada 10 orang meninggal dunia. Ada juga 41 orang mengalami luka-luka, termasuk 18 aparat keamanan, dan juga 15 bangunan dibakar massa.
Bukan kali ini saja hoaks penculikan anak memakan korban. Sepanjang 2018 di India, hoaks penculikan anak telah memakan 21 korban jiwa. Model penyebaran hoaks via WhatsApp memicu ketakutan dan kepanikan massal di India. Menuduh dan melakukan main hakim sendiri juga dilakukan.Â
Hoaks penculikan anak juga terjadi di banyak negara. Di kota Manila Filipina, hoaks penculikan anak dengan video beredar luas. Sejak akhir 2022, di Kelantan Malaysia hoaks penculikan anak sempat viral. Di Swedia, sejak 2021 beredar rumor penculikan anak warga Muslim. Hoaks penculikan anak di kawasan Cape Town, Afrika Selatan juga terbukti tidak benar.
Sebuah informasi bisa dikategorikan hoaks bila informasi terlihat nyata. Informasi ini juga menyebar secara luas dan cepat di masyarakat. Umumnya, produksi hoaks berasal dari kebohongan yang dimodifikasi secara seksama. Hoaks juga  harus memiliki sifat deregatoris, dramatis, sensasional dan menarik perhatian publik.
Mempercayai atau tidak mengacuhkan hoaks, tidak selalu berhubungan dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi seseorang. Tetapi bertitik berat pada kemampuan penerima untuk memperkuat filter nalar dan skill dari serbuan informasi. Mampu meresap dan mengevaluasi dulu informasi, sebelum meneruskannya kepada orang lain, menjadi penting.
Cek fakta menjadi skill abad 21 yang perlu dimiliki banyak orang. Berikut langkah-langkah sederhana cek fakta yang bisa dilakukan:
- Periksa sumber tautan dan konteksnya. Periksa alamat situs dengan beragam akhiran seperti .gov, .edu, atau .id. Alamat dengan akhiran seperti ini menunjukkan bahwa situs web resmi dan dapat ditpertanggungjawabkan.
- Cek dan ricek foto-foto yang didapat. Agar mengetahui apakah gambar telah dimodifikasi, bisa dilihat warna atau bagian yang tidak wajar. Amati juga pencahayaan yang tidak biasa pada foto. Kemudian teliti sumber informasi dan konteks sekali lagi.
- Baiknya bedakan fakta dengan opini. Kenali dahulu apakah informasi yang didapat berisi opini atau fakta. Opini biasanya berisi pandangan dan pernyataan pribadi. Fakta biasanya didasari data dan referensi yang valid.
- Berhenti 10 detik sebelum di-share. Luangkan waktu sejenak, 7 sampai 10 detika untuk berpikir sebelum share postingan. Coba tarik nafas perlahan, pikirkan, dan berhati-hati dengan share atau klik. Bisa jadi postingan ini malah akan merugikan diri sendiri.
Kasus penculikan anak pun memang terjadi. Baik anak dan orang tuanya menjadi korban. Anak yang diculik mengalami trauma, bahkan kehilangan nyawa. Orang tua juga merasa khawatir, panik, dan mudah terprovokasi jika anaknya diculik. Segala daya dan upaya, bahkan bertukar nyawa bisa dilakukan agar anak selamat.
Namun bukan berarti, informasi penculikan anak ditelan mentah-mentah. Lakukan cek fakta dan konfirmasi kepada pihak berwajib perlu dilakukan. Jangan sampai sembarang menuduh menyulut main hakim sendiri sampai kerusuhan massal. Dan lebih sedih lagi memakan korban jiwa tidak tahu apa-apa.