Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Partisipatif Internet dan Sisi Buruknya

19 Februari 2023   00:30 Diperbarui: 20 Februari 2023   01:03 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
War oleh Susanne Jutzeler sujufoto (pexels.com)

Sejak dirilis ke publik tahun 1970-an, internet menjadi kebutuhan sekunder manusia. Komunikasi tanpa batasan waktu, tempat, dan bahasa tercipta. Inovasi dari internet, mulai video call sampai dengan media sosial mendisrupsi banyak aspek kehidupan. Kolaborasi atau partisipasi telah membangun internet dan turunannya sampai saat ini.

Internet telah menjadi modal sosial manusia modern. Selain menjadi media berbisnis dan berkomunitas, demokrasi kritis dan kebebasan berekspresi difasilitasi di internet. Internet telah menyimpan dan memungkinkan akses ke gagasan, budaya, dan hiburan dari semua orang secara berkala.

Ada empat karakteristik budaya partisipatif internet. 

Pertama, hambatan yang relatif rendah untuk berekspresi dan keterlibatan sipil. 

Kedua, dorongan kuat untuk membuat dan berbagi konten dengan orang lain. 

Ketiga, users percaya bahwa kontribusi mereka penting. 

Keempat, ada hubungan sosial antar users terkait respon pada konten yang dibuat.

Saat users berpartisipasi dan menciptakan konten di berbagai platform, hasilnya bisa kreatif dan remeh. Partisipasinya bersifat lebih terbuka dan "dikontrol" users lain. Internet jelas telah menciptakan konvergensi media. Berita resmi dan rumor telah berbaur bebas di inter. Sehingga telah terjadi revolusi digital. 

Budaya partisipatif juga memiliki sisi gelap.  Seperti terjadinya fenomena vigilantisme digital. Fenomena ini ditandai dengan users atau netizen ramai-ramai 'mengeroyok' pelaku asusila, penipuan, dsb. Bentuknya bisa bermacam-macam seperti melaporkan ramai-ramai akun, me-review bomb, sampai men-doxxing.

Aksi di atas sering dilakukan dan bahkan dianggap lumrah. Netizen secara bersama-sama kadang membuat standar tidak tertulis tindakan negatif yang bisa ditolerir. Saat standar tidak tertulis dilanggar, tindakan langsung bisa dilakukan. Mulai dari memviralkan sampai meminta bantuan influencer agar isu bisa didengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun