Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Propaganda Komputasional: Ancaman Demokrasi dan Perang Siber (Part 1)

5 Februari 2023   00:16 Diperbarui: 6 Februari 2023   23:37 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cyber War oleh cottonbro studio (pexels.com)

Batas dunia nyata dan maya hampir kabur. Setiap gerak dan langkah manusia, konektivitas menjadi kunci dan pendukung aktivitas. Semuanya dilakukan di Internet. Internet adalah sebuah sistem terbuka dengan jejaring yang saling terkoneksi. Setiap pesan akan dienkripsi antara pengirim dan penerima. 

Walau dalam dalam prakteknya, sering terjadi serangan siber. Serangan siber seperti akses ilegal, pencurian data, sampai aktivitas surveilans jadi contoh. Sayangnya dalam Big Data Highway di Internet, banyak pihak berperang pengaruh, agenda, dan kepentingan. Mulai individu sampai pemerintahan, disrupsi dengan komputasional propaganda sudah dan sedang terjadi.

Sebelum memahami komputasional propaganda, perlu dulu dipahami serangan siber teknis. Serangan siber teknis setidaknya mencakup lima atribut berikut. Pertama, aktor yang merupakan pelaku dan target yang bisa terlepas dari efek negatif serangan. Kedua adalah aset yang ditargetkan seperti sistem, jaringan, program, sampai infrastruktur fisik. Ketiga meliputi motivasi seperti memata-matai, mencuri dan menjual data. Keempat adalah dampak dari aset yang ditargetkan, seperti peretasan, penghapusan, disrupsi, dll. Dan kelima adalah durasi dari serangan siber itu sendiri

Dengan melimpahnya pengguna Internet di Indonesia, serangan siber teknis dan propaganda sering dan terus terjadi. Serangan siber teknis menurut laporan CSIS  di tahun 2020 yang merugikan Indonesia diantaranya:

  • Pada bulan Mei 2020. Kelompok peretas PLA (People's Liberation Army) telah menargetkan perusahaan milik negara, asing, kementerian luar negeri, dan kementerian riset dan teknologi di beberapa negara seperti Australia, Indonesia, Filipina, Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Brunei.
  • Pada bulan Maret 2019. Server database pemilih KPU Pusat dilaporkan sempat diserang peretas dari Tiongkok dan Rusia sebelum pemilihan presiden dan legislatif berlangsung di bulan April.
  • Pada Oktober 2010 malware Stuxnet merusak kinerja Siemens Industrial Control Systems ditemukan di Iran, Indonesia. Stuxnet merupakan senjata siber yang dibuat sebuah pemerintahan yang pernah menyasar program nuklir Iran.

Jika serangan siber teknis cukup merugikan, propaganda komputasional kini dianggap lebih berbahaya. Secara konseptual propaganda sendiri adalah pemanfaatan sumber samar guna mengkampanyekan agenda politik tertentu. Setidaknya ada tiga jenis propaganda yaitu abu-abu, hitam, dan putih. 

Pada propaganda abu-abu, sumber informasi sengaja dikaburkan untuk menyulitkan identifikasi. Dalam propaganda hitam, para aktor secara teliti menciptakan identitas palsu yang ditampilkan sebagai entitas asli. Pada umumnya identitas yang dianggap berasal dari target propaganda. 

Baik propaganda abu-abu dan hitam jauh berbeda dengan propaganda putih. Propaganda jenis ini aktor dan aktivitasnya dilakukan secara resmi dan terinstitusi. Dan propaganda komputasional erat kaitannya dengan propaganda putih. Atau dengan kata lain, propaganda putih bertransformasi menjadi propaganda komputasional.

Menurut Global Inventory of Organized Social Manipulation, propaganda komputasional berarti aktivitas manipulasi opini publik via platform digital. Negara yang difasilitasi aktor atau institusi pemerintah mengeksploitasi platform media sosial untuk menyebarkan hoaks, menyensor dan surveilans yang berlebihan. Aktivitas negatif lain juga meremehkan media, institusi publik, dan sains. 

Konsumsi informasi digital publik yang semakin tinggi disalahguna dengan propaganda ini. Pemanfaatan AI, analisa Big Data, dan algoritma digunakan untuk meruntuhkan fakta dan kepercayaan. Aktivitas ini pun menggerus sendi-sendi demokrasi bernegara. Opini dan aspirasi publik yang dianggap merugikan pemerintah pun akan dibungkam, didisrupsi, dan dipersekusi.

Propaganda komputasional terhadap publik negri sendiri pun menjadi kian mengancam. Hal ini karena propaganda komputasional yang sifatnya rahasia, inklandestin dan canggih, sulit disaingi publik. Maka bisa disebut inilah aksi teror digital. Dengan menguasai trending, Presiden sosial media mampu melesapkan isu yang merusak sendi demokrasi itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun