Kontenisasi menjadi sebuah terma baru di dunia digital. Konten, baik teks, video, atau audio, mudah diciptakan dan dibagikan. Via perangkat digital sesederhana smartphone, ide dan objek konten ada dimana-mana. Pegang HP, klik photo atau tekan record. Bubuhi caption, pakai filter, lalu otw share.
Konten pun kian variatif, out of the box, dan sangat tersegmentasi. Dari satu isu atau tragedi, bisa diteropong dengan berbagai jenis persepsi, ranah ilmu, sampai karakteristik influencer.Â
Kontroversi konten yang tercipta pun jadi sekadar wacana publik. Kini nyaris tidak ada istilah konten jelek. Yang kini dipahami cuma, saya atau kamu bukan target segmentasi konten.
Mencari sensasi dapat FYP, trending, atau istilah untuk viral sering menjadi fokus. Bagi influencer, jadi viral berarti lebih banyak eksposur, yang juga berarti potensi endorsement atau monetisasi.Â
Bagi orang awam, mendapat FYP berarti menjadi terkenal, banyak like, tambah followers. Bisa juga terbersit ingin untuk menjadi influencer. Dan siklus influencer berulang.
Baik sengaja viral atau tidak sengaja, godaan mendapatkan uang dari medsos cukup menggiurkan. Karena ketika sudah viral secara positif, maka pertumbuhan citra biasanya ikut baik. Bagi yang tidak memanfaatkan momentum ini dengan baik, mungkin dianggap merugi bagi orang lain.
Jika bisa berandai-andai, maka demi FYP saya rela...
Merencanakan blue print konten saya ke depan.Â
Apakah konten saya dimulai dengan sesuatu hal yang sederhana lalu menjadi kompleks. Atau secara harian, mingguan, atau bulanan konten saya menerangkan hal-hal yang saya ketahui dan kuasai. Hal-hal berikut juga patut saya pikirkan dan mitigasi.Â
Apa konsekuensi jika saya tidak mengunggah secara berkala? Jika konten saya secara tidak sengaja menyinggung seseorang atau kelompok, apa yang saya segera lakukan? Apa saja yang diperlukan jika ada pihak yang mau bekerjasama, endorse, atau menampilkan konten saya di platform lain?