"Bagaimana cara mengetahui hoaks pak?" Tanya seorang pelajar saat sesi tanya jawab.
Sebuah pertanyaan yang saya sering jawab. Dan sering sekali muncul di beragam kesempatan diskusi. Namun, bukan soal seringnya pertanyaan ini muncul. Namun, kesadaran para pemuda pada bahaya hoaks sudah banyak muncul.
Dan di event Seminar Sehari yang didukung KNPI Purworejo. Para pelajar yang berjiwa muda ini siap mempelajari, mendiskusikan dan menerapkan etika bermedsos yang baik. Dengan karakteristik psikologis pemuda yang penuh rasa ingin tahu dan energi yng tinggi. Tak jarang pemuda terjebak dalam aktivitas negatif di sosmed. Walau banyak juga yang berkontribusi positif di sosmed.
Secara jumlah, pengguna atau users sosmed didominasi para pemuda. Dari 130 juta users Facebook di Indonesia, lebih dari 60% berasal dari kalangan pemuda. Instagram pun didominasi para pemuda dengan Indonesia sebagai negara pembuat insta story terbanyak di dunia. YouTube pun mendominasi unique visit dengan lebih dari 50 juta users di Indonesia.
Pemuda banyak dan sering menjadi pelaku dan korban aktivitas negatif di sosmed. Ada pemuda di Bulukumba diamankan polisi karena menyebar hoaks gempa. Contoh lain juga penipuan online yang melibatkan seorang mahasiswa di Jakarta. Doxing atau menyebar identitas individu tanpa ijin sempat ramai di kasus Audrey. Netizen ramai-ramai menyebarkan identitas para penganiaya Audrey.Â
Wajib para pemuda ketahui dan ingat. Ada netiqutte atau etika digital yang menjadi pegangan kita bersosmed.
Netiqutte ini seperti memahami perasaan orang dibalik sebuah akun. Menghormati waktu dan kuota orang lain. Sampai menjadikan etika dunia nyata juga kita pegang di dunia maya.
Kembali ke pertanyaan awal artikel ini. Ciri-ciri hoaks banyak. Namun yang paling umum adalah judul sensasional dan cenderung provokatif. Sumbernya tidak kredibel dan nama yang asal tulis dan catut. Atau berisi ajakan atau bujuk rayu yang belum tentu kemanfaatannya.