Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Isu-isu Kesehatan sebagai Komoditas Absurd Hoaks

26 Agustus 2019   17:05 Diperbarui: 27 Agustus 2019   08:27 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skull Internet oleh Habash Design - Foto: pixabay.com

Beberapa hari belakangan, video seorang anak yang diduga kecanduan gim viral di linimasa. Narasi yang beredar, sang anak mengalami gangguan saraf karena sering bermain gim. Sayangnya, sampai saat ini video anak yang berasal dari Muntilan Magelang ini masih beredar di Facebook.

Pihak keluarga menyayangkan perekam sekaligus penyebar video tersebut. Sang kakak dari anak yang ada dalam video menegaskan kalau adiknya tidak kecanduan gim. Adiknya mengalami penyakit langka yang disebut hemiballismus. 

Dan pihak keluarga meminta pihak-pihak tidak lagi menyebarkan video tersebut. Karena adiknya kini merasa tertekan secara psikis.

Penyebab umum hemiballismus seperti trauma pada bagian otak, non-ketosis hyperglycemia, dan tumor tuberculoma. Penderita akan mengalami gerakan di tangan dan kaki yang tidak terkontrol (spasmodic). Pada penderita stroke, penyakit ini juga dapat muncul. 

Hoaks bernarasi abnormalitas kesehatan sering kita temui. Di Makassar beredar viral informasi tentang Wawan yang sakit jiwa karena bermain gim bulan Juli lalu. Tahun 2018 lalu, juga beredar isu sindrom juling pada anak di bawah 4 tahun karena terpapar smartphone. 

Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) pun menjadi komoditas hoaks. Saat kampanye Pilpres 2019, postingan yang meremehkan kemampuan penderita ODGJ yang mampu memilih viral beredar. Penderita ODGJ pun pun dijadikan alasan untuk mencurigai penculik anak di Pemalang. 

Glorifikasi isu kesehatan juga terjadi di banyak negara lain. Di tahun 2017, linimasa US dipenuhi meme pernyataan Sarah Palin tentang penderita penyakit kulit Lyme yang tidak boleh banyak memakan jeruk purut (lime). Padahal penyakit Lyme disebabkan oleh kutu Borrelia.

Di bulan Desember 2015, breitbart.com mengabarkan para imigran Suriah membawa penyakit kulit yang menular dan mematikan (leishmaniasis). Padahal foto yang dicantumkan adalah penyakit amebiasis. Dan tidak ditemukan indikasi leishmaniasis dari para pengungsi Timur Tengah.

Walikota Johannesburg Afrika Selatan, menyebar rumor palsu yang meresahkan di 2018. Via akun Twitter-nya, ia berkata kepala sapi yang sudah dipotong dapat menyebarkan virus Ebola. Faktanya, hewan ternak seperti sapi tidak menularkan Ebola seperti yang ditularkan oleh hewan liar. 

Pada Juni 2019, di Swedia beredar kabar viral kalau aspartame dalam minuman bersoda mematikan. Padahal WHO dan otoritas Swedia telah menjelaskan bahwa aspartame aman dikonsumsi. Informasi hoaks aspartame ini juga sempat viral beredar di Afrika Selatan bulan Agustus 2019.

Postingan Facebook di bulan April 2019, mendapat reaksi mengejutkan publik di Italia. Beredar edaran Kementrian Kesehatan Italia tertanggal 26 Mei 2017 yang menyatakan Coca Cola mengandung darah yang terinfeksi AIDS. 

Doctor Ducks oleh Alexas Fotos - Foto: pixabay.com
Doctor Ducks oleh Alexas Fotos - Foto: pixabay.com
Hoaks kesehatan seperti contoh di atas dinarasikan dengan tone kekhawatiran dan kepanikan. Baik secara implisit maupun eksplisit, hoaks terkait kesehatan seolah mengancam kehidupan seseorang. Jika diabaikan, maka dampaknya bisa jadi merugikan, mencelakai, bahkan mematikan.

Makanan atau benda yang sering kita lihat akan dinarasikan sebagai suatu yang berbahaya. Seperti hoaks buah nanas madu yang menyebabkan ginjal. Ada juga narasi nasi yang dipanaskan lebih dari 12 di magic com bisa menyebabkan kanker. Atau mengkonsumsi coklat usai memakan mie instan dapat menyebabkan kematian.

Dari satu kasus seperti yang terjadi di Magelang, ada beberapa alasan pembuat dan/atau penyebar hoaks kesehatan adalah:

Ingin Populer 
Bukan rahasia lagi kalau pemosting pertama akan mendapat popularitas di sosial media. Begitupun saya kira apa yang terjadi di Magelang. Pelaku merupakan tenaga kesehatan (nakes) yang kebetulan ada di ruangan. Dan dengan tanpa izin merekam dan membagikan via akun sosmednya. 

Tetapi fatalnya, dengan narasi yang benar. Narasi yang dibubuhi dalam postingan nakes tersebut terkesan sok tahu. Tanpa konfirmasi diagnosis detail, si nakes mungkin merasa penyakit sang anak adalah akibat kecanduan gim.

Ingin Berbagi
Dari kasus di Magelang, kita juga melihat ada maksud nakes ingin bisa bermanfaat untuk orang lain. Dengan menuduh penyakit si anak dalam video adalah akibat kecanduan gim. Maka si nakes tidak ingin orang lain (termasuk adiknya) menjadi kecanduan gim.

Kembali, kesalahan atas kurangnya informasi (mal-informasi) akhirnya menjebak si nakes dalam hoaks. Dengan sedikit informasi soal si anak dalam video. Maksud hati ingin berbagi kekhawatiran atas kecanduan gim. Malah berimbas ketidakbaikan bagi diri orang banyak.

Ingin Klik
Pada banyak kasus hoaks, termasuk tentang kesehatan. Motif ekonomi menjadi alasan penyebaran hoaks. Semakin banyak narasi sebuah narasi hoaks diklik dan disebarkan. Semakin tinggi pundi-pundi uang yang didapat karena situs yang dituju biasanya memiliki iklan. 

Namun yang sedikit membedakan pada hoaks kesehatan. Ada fitnah yang dibuat, seperti kasus kandungan aspartame pada minuman bersoda. Atau narasi hoaks keganasan suatu penyakit diberikan solusi dengan obat non-medis yang ditawarkan pada akhir narasi.

Tidak ada dari kita yang ingin sakit. Namun tidak sedikit juga yang terhasut dan terjebak dalam narasi hoaks isu kesehatan. Ada kepercayaan kita atas nama dokter, profesor, atau peneliti dalam sebuah narasi hoaks isu kesehatan. Belum menjadi jaminan sakit atau resiko penyakit bisa dicegah.

Sebelum semuanya dikonfirmasi dan divalidasi otoritas kesehatan. Ada baiknya kita wajib waspada dan urung menyebar hoaks terkait isu kesehatan.

Salam,

Wonogiri, 26 Agustus 2019
05:05 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun