Linimasa kita kini kian beracun dan tidak sehat.
Yang penting komen nyinyir dulu. Yang penting share dan ngegas dulu. Yang penting ikutan postingan yang rame dulu. Urusan fakta dan kebenaran informasi belakangan.
Dalih berikut pun dijadikan alibi kalau sudah ada sanksi sosial dan pidana pada para pelaku:
- Khilaf karena narasi informasi di WhatsApp Grup begitu sensasional
- Ikut-ikutan share karena teman-teman yang rame di sebuah postingan Facebook
- Tidak tahu kalau screenshot postingan public figure di Twitter sebenarnya hoaks
Begitu banyak penyebar informasi bohong akhirnya yang malu sendiri di linimasa. Beberapa kapok dan akhirnya malas menyebar sembarang informasi. Namun masih banyak juga yang keukeuh pada informasi dan sumber kelompoknya yang dianggap valid.
Pihak kepolisian pun sudah sering menciduk para penyebar hoaks. Ada dari kalangan emak-emak, ASN, guru, sampai dosen. Namun banyak yang masih belum mengambil hikmah dari penangkapan ini.Â
Karena merasa fakta atas informasi berasal dari kerumunannya. Karena merasa prinsip dan informasi yang mereka bela dilakukan juga banyak orang. Dan karena pada akhirnya perlawanan yang ada dianggap sebagai perjuangan.
Kelompok seperti ini akhirnya memiliki parameter dan indikator sendiri untuk kebenaran. Anggotanya akan merasa paling benar dan paling pintar. Dengan berbekal smartphone mereka merasa bisa "outsmart" orang lain.Â
Sebuah riset dari Nathaniel Barr, dkk (2015) mengungkap fenomena di atas. Riset ini mengungkap hasil bahwa:
"We provide evidence that the tendency to rely on intuitiverather than analytic thinking is related to a modern form of cognitive miserliness whereby information is sought from an externalsource (i.e., one's Smartphone) (p.478)"
Beberapa bukti menunjukkan kecenderungan yang akut pada cara berpikir intuitif dan bukan analitis. Di mana pemerolehan informasinya berasal dari sumber eksternal, (yaitu, smartphone).Â
Cara berpikir intuitif adalah menanggapi informasi dengan sigap, spontan, dan teledor. Sedang cara berpikir analitis lebih cenderung lambat, rasional, efektif, dan teliti.Â
Hasil studi Barr dkk (2015) tersebut berasal dari proposisi sebuah soal sederhana berikut:
Harga satu pemukul dan satu buah bola adalah $1.10. Harga satu pemukul lebih mahal $1 daripada harga bola. Berapakah harga satu buah bola?
Sekilas, kita bisa menjawab segera kalau harga bola adalah 10 cents. Dengan perhitungan, $1 untuk pemukul dan 10 cents untuk pemukul. Jika jawaban kita begitu, maka jawaban kita salah.Â
Jika harga sebuah bola 10 cents. Dan dengan perbedaan harga pemukul dan bola adalah $1. Kita akan mendapat total harga $1.20. Dengan harga pemukul $1.10 dan bolanya 10 cents.Â
Jawaban yang benar untuk harga sebuah bola adalah 5 cents. Dengan didapati harga sebuah pemukul adalah $1.05. Hitungan ini sesuai dengan perbedaan antara harga pemukul dan bola, yaitu $1.
Jika kita menjawab harga bola adalah 10 cent. Mungkin kita terjebak petunjuk intuitif yaitu nominal $1.10 dan perbedaan harga $1. Jika jawaban kita dengan teliti mendapati harga bola adalah 5 cents. Maka bisa dianggap Anda sudah berpikir analitis.
Dari riset Barr, dkk (2015) menyoal kognisi dan kebergantungan berpikir pada smartphone. Ada kemiripan fenomena yang kita lihat sehari-hari di linimasa.Â
Banyak orang yang bebas dan tanpa beban mengumpat di kolom komentar. Banyak orang di balik akun sosmed merasa lebih pakar dari para pakar sesungguhnya. Dan banyak orang bebal dengan informasi dan sumber informasi salah yang mereka yakini tetap eksis.
Tanpa berpikir panjang dan menyimak isi informasi dengan baik. Tanpa perlu teliti mengamati sumber dan figur pemberi informasi. Apalagi repot meng-klik link yang disematkan. Banyak orang terjebak dalam lingkar kebencian dan hoaks di dunia maya.Â
Maka tak ayal penelitian Barr, dkk diberi judul "The Brain in Your Pocket: Evidence that Smartphones Are Used to Supplant Thinking".
Mungkin istilah marketing telepon genggam 'smartphone' perlu dikurasi. Karena kata 'smart' seolah memindahkan kecerdasan kognisi kita pada smartphone kita.
Walau benar adanya manfaat saat kita meng-Google segala hal. Maka jawaban akan tersedia. Namun ironisnya, cara berpikir kita pun pada akhirnya 'dipindahkan' ke dalam smartphone di kantong kita.
Banyak orang malas membaca isi berita yang rumit dan penuh laman/link/sumber. Mereka lebih nyaman membaca judul berita saja. Banyak juga yang terjebak men-share postingan berisi kebencian dan hoaks asal banyak yang komen dan like.
Walau penelitian Barr dkk (2015) tidak merepresentasi fenomena umum isu yang diangkat. Setidaknya secara kasat mata dan kita rasa. Semua orang (akun) kini sudah merasa paling benar, dan paling pintar dengan smartphone mereka.
Jangan sampai kita terjebak pada sindrom ini.
Salam,
Wonogiri, 20 Mei 2019
10:02 pmÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H