Masih dalam suasana hari Perempuan Internasional. Mungkin saya akan coba menulis sedikit soal perempuan dan teknologi. Jika membahas baik perempuan dan teknologi. Maka yang akan muncul dalam fikiran kita adalah ranah ini terkesan maskulin dan 'tabu' bagi perempuan.
Indonesia yang menjadi pasar produk dan inovasi teknologi dihadapkan pada kenyataan pelik. Saat ketimpangan gender masih menjadi isu yang kompleks secara sosial, budaya, dan politik. Dunia teknologi di Indonesia pun masih didominasi kaum laki-laki.
Apalagi saya pribadi yang tinggal dan berasal dari Jawa Tengah yang memiliki filosofi sendiri pada perempuan. Filosofi yang banyak orang anggap mensegregasi kaum perempuan dalam kehidupan sosial dan profesional. Yaitu filosofi perempuan dengan prinsip macak, manak, dan masak.
Perempuan harus pandai macak (berdandan), manak (mengurus anak), dan masak (memasak). Filosofi yang seolah ketinggalan jaman alias tidak 4.0. Namun benarkah demikian?
Saya tidak begitu faham konsep filosofi perempuan dari etnis atau daerah lain di Indonesia. Karena membahas isu perempuan dengan teknologi dari beragam filosofi dari beragam etnis dan daerah akan membuat ruang diskursus tersendiri.
Mungkin sama halnya dengan anggapan umum kalau perempuan tidak membaca peta. Ranah teknologi yang mulai dari Alan Turing sampai Steve Job 'dikuasai' kaum lelaki. Sehingga apa yang ada dalam fikiran kita bahwa kesan maskulin terus terjaga. Ada ketabuan tersendiri saat perempuan hadir dalam ranah ini.
Terjadi ketidaksetaraan gender yang disebut sebagai gender STEM Gap. STEM adalah akronim untuk Science, Technology, Engineering dan Mathematic.
Walau beberapa figur prominen teknologi sebenarnya cukup banyak. Seperti Sherly Sandberg sang COO Facebook atau Marissa Mayer dari Yahoo. Di awal abad 20, Jean Jennis Bartik, seorang matematikawan. Ia turut membangun komputer pertama dunia. Radia Pearlman dianggap sebagai Mother of The Internet saat mencetuskan konsep 'spanning three' untuk network protokol ethernet.
Dikutip TheAtlanctic.com, hasil riset Gijberst Stoet menemukan persepsi menarik perempuan pada ranah STEM. Di negara maju, aman, dan dengan kesetaraan gender yang baik. Perempuan akan lebih cenderung memilih bekerja di bidang STEM. Sedang hal ini sulit terwujud di negara dengan kesetaraan gender yang kurang baik seperti Turki dan Uni Emirat Arab.
Laporan SAGA (STEM and Gender Advancement) tahun 2018 dari UNESCO merangkum beberapa alasan mengapa gender STEM Gap terjadi:
1.Kurangnya role model atau panutan perempuan