Hoaks dan fact-check atau cek fakta menjadi kian populer saat ini. Jika hoaks sudah beredar. Maka akan diikuti klarifikasi atau cek faktanya. Dan dibalik mencari dan memvalidasi fakta ini. Ada sebuah profesi yang mungkin cukup baru buat kita. Yaitu profesi fact checker.
Fact checking dilakukan sebelum dan/atau sesudah sebuah informasi disebarkan. Seorang fact checker akan memastikan data sebuah laporan sesuai dengan referensi yang valid. Di sisi lain, fact checker pun mengecek informasi yang sudah beredar dan viral seperti hoaks.
Snopes.com adalah situs fact checking yang sudah berdiri cukup lama dan kredibel. Seorang mantan direktor Snopes, Brooke Binkowski kini dikontrak Facebook untuk menjalankan fact checking disana. Politifact.com juga merupakan situs fact checking di US yang khusus memverifikasi hoaks politik.
Profesi fact checker pun kini kian penting dan dicari. Dan penghasilan fact checker, baik tetap atau freelance cukup menjanjikan. Dan niche fact checking atas beragam data pun muncul. Seperti fact checking untuk berita politik, berita olahraga, atau berita kesehatan.
Sertifikasi fact checking pun sudah ada. Seperti IFCN (International Fact Checking Network) sudah memberikan sertifikasi pada 67 institusi dan media di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia yaitu ada Kompas.com, Tempo.co, Tirto.id, Liputan6.com, dan Mafindo.Â
Google News Initiative bersama 22 media lain di Indonesia pun membentuk cekfakta.com. Sebuah situs yang didedikasikan sebagai projek kolaboratif bersama mencegah dan melawan berita bohong atau hoaks.Â
Dan prinsip seorang fact checker tentu independen dan bebas bias politik atau kultur.
Cek fakta sejatinya memang menjadi bagian dari profesi dan kompetensi jurnalistik. Dimulai dengan dasar analisa 5W-1H. Sampai pola peliputan investigatif semuanya bertujuan mencari fakta, realitas, atau informasi aktual yang kredibel dan valid.
Yang membedakan fact checking sedikit banyak dari ranah jurnalisme adalah digital forensic skill. Walau bukan tidak mungkin menelusur berita hoaks sampai ke IP address penyebarnya. Seorang fact checker biasanya secara garis besar mengikuti prosedur berikut:
- Memahami konteks mis/disinformasi. Melepas konteks dari tujuan sebuah informasi adalah dasar dari sebuah hoaks. Seorang fact checker harus mampu menelaah, memahami, dan memastikan dulu informasi yang diterima hoaks atau bukan.
- Jika dalam hoaks didapat dalam bentuk narasi. Maka verifikasi faktanya dicari via Google atau mesin peramban yang khusus. Mesin peramban ini umumnya di-customize agar tidak memunculkan hasil pencarian bias. Contohnya menggunakan aplikasi Hoax Buster Tools
- Hoaks dengan foto biasanya ditelusur dengan beberapa cara. Seperti mencari melalui Google image, Tin Eye.com atau Reverse Image.org. Hasil situs ini menunjukkan gambar serupa atau mirip yang pernah diunggah sebelumnya. Jika belum cukup, Exif data foto juga bisa ditelusur via Exif Data.com. Exif data foto umumnya berisi data kamera, tanggal foto diambli, shutter, aperture, dsb.
- Hoaks dengan video cukup rumit tapi mungkin untuk diklarifikasi. Salah satunya menggunakan YouTube Data Viewer. Di situs ini, akan dimunculkan snippet foto dari YouTube yang hampir serupa dari video yang diduga hoaks.
- Metode fact checking pun kadang menggunakan sentimen trend di sosmed. Selain dapat melihat banyaknya akun, like, komen dari sebuah hoaks. Cara ini akan men-crawl data trend dari sebuah hoaks secara real-time. Agar diketahui akun bot mungkin berperan menjadikan sebuah informasi hoaks viral. Sentimen analisis ini bisa menggunakan CrowdTangle.com, Keyhole.co, dll.
Mungkin metode kerja beragam organisasi fact checking berbeda di seluruh dunia. Dan bisa dilakukan sedemikian detail jika hoaks kian sulit dibuktikan kebenarannya.
Saya pernah mendengar kisah seorang jurnalis Tirto.id tentang berita Lalu Zohri. Bagaimana informasi simpang siur yang beredar membuat gaduh berita arus utama dan netizen. Apakah Zohri menggunakan bendera Indonesia atau Polandia masih belum bisa dipastikan waktu itu.