Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Semua yang Salah Soal Integrasi WhatsApp, Instagram, dan Messenger

26 Januari 2019   12:05 Diperbarui: 26 Januari 2019   17:43 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Facebook yang sedang menyusun infrastruktur integrasi beragam platform media sosial cukup memprihatinkan. Instagram (IG) yang dibeli Facebook di tahun 2012 dan WhatsApp (WA) pun diakuisisi tahun 2014. Saat ini direncanakan untuk digabungkan bersama native platform Facebook sendiri, Messenger (MS). 

Integrasi ini salah dari beragam perspektif. Baik secara etis, prinsip, dan niche platform sosial media itu sendiri.

Greed atau ketamakan akan ads revenue atau sisi finansial iklan sepertinya merajai etika Facebook. Disatukannya 3 platform media sosial 'milik' Facebook mengaburkan batas-batas target iklan kepada para users.

Saat FB dan IG diisi dengan beragam iklan. Baik yang beriklan resmi via platform atau endorser/influencer di FB dan IG. Bagaimana jika para pengiklan 'meng-crawl' alias mengkalkulasi perilaku konsumen di WA?

WA sebagai platform chat yang berfokus pada privasi, tanpa iklan, dan personal. Bukan tidak mungkin, perilaku konsumen terbaca jelas via integrasi ketiga platform. Dimana data users dikumpulkan, dipilah, dan dikluster dengan indikator yang lebih dalam dan khas.

Kebocoran 80 juta users data gegara skandal Cambridge Analytica, sudah menumbuhkan mindset anti-trust pada Facebook. WA pun mengundang banyak kontroversi di Brazil. Setelah kabar kampanye hitam dan ujaran kebencian Presiden terpilih Brazil diviralkan via WA.

Transparency. We believe that this transparency enables users to make more informed decisions about their activities on Facebook.  (Prinsip Transparansi Facebook, dalam dokumen Security and Exchange Commission tahun 2012)

Jika jumlah users FB plus MS, WA dan IG ditotal. Maka akan ada sekitar 4 miliar users. Walau mungkin tiap kita memiliki ke empat aplikasi dalam satu gawai. Namun menilik budget pengiklan di FB yang mencapai 40 miliar USD. Nampaknya kesan users tak lain adalah pembeli begitu kental dalam isu merger ke empat platform.

Baik developers (dalam hal ini FB) dan users (kita) dilanggar secara etis. FB sudah sejak tahun 2012 bertransformasi menjadi 'the new Google'. Yang awalnya FB adalah platform pemersatu mahasiswa Harvard. Kini telah berubah bukan sekadar media bersosialisasi.

Lab Mouse - Foto: pixabay.com
Lab Mouse - Foto: pixabay.com
Selain sebagai pasar bebas e-commerce. FB kini menjadi laboratorium besar manusia dan dinamika sosialnya. Dan kita menjadi tikus-tikus percobaannya.

Genosida di  Myanmar juga diinstigasi hate speech dan propaganda via FB. Bahasa Myanmar yang begitu kontekstual maknanya dibiarkan berlarut-larut. Walau flagging dan laporan sudah ada. Sedikit personil FB yang benar-benar melihat indikasi kerusuhan etnis sejak 2015.

Peran FB dalam pemenangan kampanye Trump di tahun 2016 disinyalir didukung para hackers dari Rusia. Walau FCC membantah ada disrupsi penggiringan opini publik via FB waktu itu. Namun banyak data digital forensic justru berkata lain.

Bayangkan jika ke 4 platform berisi misinformasi, ujaran kebencian, dan scamming bersatu. FB, saya kira akan semakin kewalahan dengan gerak teroganisir para propagandis. Users yang terkurung algoritma filter bubble akan semakin terpolarisasi. Pun, bisa jadi konflik sosial bisa meletus.

Personal relationships are the fundamental unit of our society. Relationships are how we discover new ideas, understand our world and ultimately derive long-term happiness. (Surat Zuckerberg pada Security and Exchange Commission tahun 2012)

Apakah masih ada personal relationship saat linimasa penuh dengan negativisme? Mungkin beberapa teman masih mau lucu-lucuan dan berbagi di FB/IG. Namun dengan dekapan filter bubble yang hanya memunculkan tren dan posting terpopuler dari teman yang sepemikiran. Kejenuhan dan kejengahan mungkin yang muncul.

Jika hanya engagement yang dicari agar users terus kembali me-refresh linimasa. Apa bedanya dengan narkotika yang menimbulkan kecemasan dan kegelisahan. Intimidasi notifikasi kini begitu aktif, kreatif, bahkan progresif. Hal-hal yang tidak perlu kini diberikan notifikasi.

Dampaknya, orang akan terus melongok dan memandangi gawainya setiap saat. Entah itu di meja makan, di tempat tidur, sampai di dalam kelas. Kini perilaku dan kebiasaan orang pun tercermin dan tak terlepas dari postingan. Mulai dari pola partisan, fandom, sampai konsumerisme terekam baik di jejak digital. 

FB via ke-4 platform pun mengeksploitasi data users ini. Secara etika ada intransparansi apa yang terjadi di 'dapur' FB saat semua data users diolah dan dilabeli untuk iklan. 

Walau dalam surat di WSJ, Zuckerberg membeberkan apa yang sebenarnya terjadi pada data users. Namun masih banyak detail dan peran FB yang dianggap kurang preventif mencegah kebocoran privacy pengguna. 

Bahkan selama 15 tahun FB hadir di tengah-tengah kita. Artificial intelligence (AI) yang mengenali clickbait, hate speech, hoaks, dan posting partisan berakun palsu masih sulit dibuat. Berbeda dengan model AI yang begitu progresif mentarget iklan dan mensegregasi penggunanya.

Privacy - Foto: pixabay.com
Privacy - Foto: pixabay.com

We believe that this creates a greater number of stronger relationships between people, and that it helps people get exposed to a greater number of diverse perspectives. (Surat Zuckerberg pada Security and Exchange Commission tahun 2012)

Terakhir, kekhasan (niche) platform seperti IG dan WA tidak bisa dicampur aduk. Platform foto sharing seperti IG agak rancu jika bisa berjalan seiring WA. Apakah nantinya users IG bisa melihat users WA yang sedang online. Atau malah sebaliknya.

Pendiri WA sudah hengkang dari hirarki kepemimpinan Zuckerberg. Jan Koum merasa ia telah menjual privacy pengguna WA kepada FB. Begitupun dengan pendiri IG yang turut mengundurkan diri dari IG tahun lalu. Systorm merasa FB telah melanggar privacy dan data-sharing pengguna IG.

Satu dan lain hal, tentu ada ketidaknyamanan. Saat orang yang tidak punya IG tapi diminta membuat akun IG via WA. Karena bisa jadi algoritma FB melihat si A/B/C belum punya IG. Maka link unduh aplikasi IG pun dikirim. Persis seperti iklan IG pada linimasa FB aau MS.

Platform MS yang ramai dengan market place tentu berbeda 180 dengan WA. Saat WA lebih personal, komunal dan tanpa iklan. Maka MS akan penuh dengan grup sellers, resellers, sampai suppliers. Jangan-jangan nanti users MS bisa dengan mudahnya berjualan/share barang dagangan di WA.

Bisa jadi, tab 'Status' di WA akan penuh dengan iklan teman atau rekan. Kabarnya, pengguna WA Business dapat memasang statusnya walau kita tidak memiliki kontak pemilik bisnis tersebut dan kabar WA yang akan dipenuhi iklan sudah muncul sejak medio tahun lalu.

Kekhasan IG, WA, dan MS akan saling bertumburan dalam infrastruktur merger ini. Walau belum ada sistem yang jelas mengenai cara tiap platform bersinggungan satu sama lain. Namun yang dirasa users saat ini penyatuan ini cukup meresahkan.

Model bisnis FB yang kian menggurita dan tabrak sana-sini sepertinya akan terus bertahan. Walau Uni Eropa sudah mengawasi dengan ketat FB dan di US sendiri Kongres sudah berulang kali menginterogasi Zuckerberg. 

Nampaknya prinsip 'move fast and break stuff' FB tetap dipegang teguh baik oleh Zuckerberg dan Sandberg. Walau polemik di Myanmar, skandal kebocoran data, sampai disrupsi pemilu US dan Filipina sudah terlihat korelasinya dengan FB. Namun polemik ini belum begitu menjadi fokus FB.

Penggabungan ke-4 platform tentunya bukan sekadar isu infrastruktur dan interface yang diragukan. Namun lebih isu etis dan pelanggaran prinsip oleh FB sebagai developer kepada users akibat tekanan pengiklan/pemodal bisa terus terjadi. 

Secara personal dan prinsip, Zuckerberg pun telah melanggar janji. Baik pada Jan Koum sebagai pendiri WA yang memilih mengundurkan diri. Atau pada Kevin Systorm pendiri IG yang merasa ada yang salah dengan bisnis IG saat ini.

Salam,

Solo, 26 Januari 2019

12:04 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun