Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal 7 Jenis Misinformasi, Misrepresentasi Konten

14 Desember 2018   19:04 Diperbarui: 15 Desember 2018   06:24 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Photograph furnishes evidence." Susan Sontag - On Photography 1977

Balada Merepresentasi Pesan

Berita bohong atau hoaks seolah mengancam eksistensi logika kita. Pola persebaran informasi one-to-many menyebabkan banyak pengaburan realitas yang terjadi. Sosial media dengan pola persebaran informasi personal dan real-time tak ayal sering menjadi alat pembuat gaduh logika. Sekilas, sebuah berita begitu meyakinkan. Namun setelah ditelaah dan diamati, kita pun terjebak dalam arus penyebaran misinformasi.

Begitupun representasi sebuah foto dalam sebuah informasi dapat amat menyesatkan. Di tahun 1935, Josef Goebbels sang mentri Propaganda Nazi mencari anak bayi yang sempurna. Bayi ini akan difoto dan dielukan sebagai bayi bangsa Arya yang paling sempurna. Maka ditemukanlah bayi perempuan bernama Hessy Levinson. Bayi Hessy pun langsung dinobatkan sebagai bayi Arya sempurna dan dijadikan cover majalah Nazi, Sonne in Haus di bulan Januari 1935.

Namun setelah diselidiki, Hessy Levinson ternyata berasal dari keluarga Yahudi. Sedang kaum Yahudi sendiri adalah ras yang dianggap inferior daripada kaum Arya yang diwakili Nazi. Keluarga Hessy tahu foto putrinya dijadikan sebagai contoh bayi Arya sempurna. Dalam ketakutan dan teror, keluarganya memilih untuk diam dan pindah ke US pada tahun 1949. 

Sebuah foto benar adanya mengaburkan bukti atau realitas yang terjadi menurut Susan Sontag. Dan jenis misinformasi dalam hal misrepresentasi konten dengan caption, foto bahkan video kini kian menjamur di dunia digital. Misrepresentasi konten umumnya mengaplikasikan jurnalisme yang lemah. Dan tak jarang didasari kepentingan finansial (klik/visit) dan politis (kampanye negatif/hitam).

Sensasi Misrepresentasi Isi

Misinformasi dalam representasi isi umumnya terjadi aktual demi klik, visit, followers, dan mungkin propaganda. Benar terjadi sebuah peristiwa tapi dengan representasi caption, foto, dan video yang jauh berbeda. Berbeda dengan misinformasi clickbait, keterangan berita/informasi umumnya tidak sensasional dan mengusik fikiran. Beberapa contoh misrepresentasi isi atau pesan sebuah informasi bisa dilihat dibawah.

Sebuah foto hiu yang sedang berenang di kala badai dan banjir Harvey di tahun 2017 membuat gaduh linimasa. Digambarkan dalam foto (dibawah), seseorang memfoto hiu ini dari dalam mobilnya. Lalu seorang jurnalis bernama Jason Michael @jeggit men-tweet foto ini dan mendapat ribuan RT dan like. Walau ternyata, foto ini berhasil di-debunk pengguna Twitter lain walau tak banyak RT atau like didapat.

Screenshot Misrepresentasi Foto dengan Buktinya - Ilustrasi: dailymail.co.uk
Screenshot Misrepresentasi Foto dengan Buktinya - Ilustrasi: dailymail.co.uk
Seperti dilansir dailymail.co.uk, banyak kejadian yang diabadikan via foto direpresentasi berbeda dan viral tersebar. Masih di badai Harvey tahun 2017, tersebar tweet foto April Mop dengan seekor buaya diam di samping sebuah mobil. Begitupun foto bandara Houston akibat badai yang digambarkan terendam. Padahal foto tadi adalah ilustrasi bandara La Guardia di New York jika terjadi perubahan iklim drastis di masa depan.

Tidak hanya foto, bahkan caption atau keterangan video bisa dimanipulasi. Seperti yang telah dibongkar Fanspage Mafindo FAFHH, foto dan video dengan pesan salah bernuansa kampanye politis. Rombongan orang dari Sumbar dikabarkan berangkat menuju aksi 212 di tahun 2017 dengan pesawat terbang. Di caption ditulis, berangkat dukung 02 tapi pulang tetap pilih 01. Walau faktanya, foto dan video ini adalah aksi Bela Islam Jilid III tahun 2016.

Dan di era digital yang kian maju pesat, bahkan video on air/off air seseorang bisa dimisrepresentasi. Program berbasis Artificial Intelligence (AI) bernama Deep Fake kini dapat mengubah wajah seseorang di depan kamera saat live/recorded menjadi siapa saja. Beberapa kompilasi video Deep Fake beberapa orang dengan wajah Nicholas Cage sempat didokumentasi di YouTube oleh beberapa orang.

Apa artinya? Saat ini hoaks misrepresentasi bukan sekadar edit mengedit foto/video. Suatu saat seseorang bisa meniru wajah kita sendiri dengan maksud menjelek-jelekkan diri kita. Dan mungkin kita tidak pernah tahu orang dibalik wajah Deep Fake tadi. Sedang dunia digital begitu luas dan tak berbatas dalam hal privasi dan jangkauan audiens.

Foto Editan Pertemuan Khabib dan Mike Tyson yang Diedit Demi Kepentingan Politis Berbau Sara - Foto: Fanspage FB Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoaks
Foto Editan Pertemuan Khabib dan Mike Tyson yang Diedit Demi Kepentingan Politis Berbau Sara - Foto: Fanspage FB Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoaks
Cara Praktis Mengenali Misrepresentasi Isi

Dilansir dari Prnewswire.com, ada 4 langkah yang bisa kita lakukan untuk mengenali informasi dengan konten yang dimisrepresentasi ini.

  1. Gunakan Google untuk me-reverse image agar tahu asal muasal sebuah foto. Pada mesin peramban Chrome, cukup klik kanan maka akan ada 'Search Google for Image'. Jika tidak ditemukan, coba menggunakan peramban khusus foto seperti Google Image. Cukup meng-cut link foto dan mem-paste di kolom yang disediakan.
  2. Teliti metadata yang berisi lokasi, tanggal, sampai ISO number sebuah foto. Walau agak rumit dan memakan waktu, kini ada situs khusus untuk melihat metadata foto. Silahkan kunjungi Metapicz, Exifdata dan Jeffreys Exif Viewer. Di situs-situs ini, metadata foto akan dijabarkan baik mendetail atau sederhana.
  3. Lakukan investigasi forensik pada foto pada tahap yang lebih rumit. Situs FotoForensics bisa meneliti sampai tingkat ELA (Error Level Analysis). Informasi pada ELA biasanya memberi gambaran apakah foto pernah diedit atau direkayasa. Situs TinEye juga melakukan proses yang hampir serupa.
  4. Untuk video, telusur jejak digital video di situs Amnesty International YouTube Data Viewer. Cukup mengkopas link video, beberapa screenshot video bisa ditelaah sumber dan jejak digitalnya. Beberapa thumbnail juga akan menampilkan video yang serupa. 

Sehingga, cerdas dan bijak dalam mengenali informasi menjadi kewajiban kita saat ini.

Jenis Misinformasi sebelumnya: Satir atau Parodi, Clickbait, Konten Mengelabui, Konten Fabrikasi

Salam,

Solo, 14 Desember 2018

07:03 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun