Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal 7 Jenis Misinformasi, Konten Fabrikasi

13 Desember 2018   15:49 Diperbarui: 14 Desember 2018   05:25 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot Fanspage Facebook Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoaks

"There has been more new error propagated by the press in the last ten years than in a hundred years before 1798." John Adams 1735-1826 (President ke-2 US)

Mempertanyakan Kebenaran

Marquis de Condorcet dalam bukunya Outlines of an Historical View of the Progress of the Human Mind di tahun 1975 pernah menulis. Saat era jurnalisme bebas tiba, kebenaran pun menjadi sebuah nilai yang bisa diperdebatkan. Dan dalam perdebatan ini, tak jarang oknum dengan agenda terselubung mencampuri. Mereka mendistorsi, merekayasa dan memfabrikasi konten demi suatu kepentingan.

Cherilyn Ireton dan Julie Posseti dalam buku Journalism, Fake News and Disinformation (2017), melihat kebenaran kini kian rapuh dan melemah. Hal ini terjadi bahkan sebelum era digital dan sosial media. Menurunnya kepercayaan kepada institusi pemerintah telah menggiring publik kepada era ketidakpastian. Jurnalisme di era informasi digital pun menghadapi perubahan di tingkat kultural, struktural, dan normatif.

Di era internet dan sosmed, misinformasi yang terjadi pun termultiplikasi dampak dan bahayanya (Posseti dan Matthews, 2018). Sehingga konten propaganda yang dibarengi jutaan akun bot di sosmed dinilai lebih efektif membuat gaduh. 

Indikasi digital naiknya Trump atau Duterte tak lepas dari pola diseminasi konten yang memiliki unsur terfabrikasi yang begitu masif dan terstruktur.

Pew Research Center dalam studinya tahun 2016 mengungkap, 64% responden merasa berita bohong mengaburkan batas fakta dan fiksi. Riset yang ini diikuti 1.002 responden dari beragam kalangan dan umur. Dengan 23% responden mengaku pernah berbagi berita bohong. Jumlah 23% terbagi dalam 14% responden tahu betul berita yang disebar adalah hoaks. Sedang 16% dari mereka baru sadar yang disebar adalah hoaks setelah disebar.

Konten Fabrikasi, Propaganda yang Lebih Berbahaya

Konten fabrikasi menurut Ireton dan Posseti (2017) dimasukkan ke dalam kategori disinformasi. Disinformasi adalah informasi yang salah. Dan pihak penyebarnya mengetahui kalau informasi ini tidak benar. Disinformasi didalangi aktor yang secara sengaja membuat dan menyebarkannya ke publik. Kesan fitnah atas kepentingan politis dan finansial biasanya pun tersurat dalam konten ini.

Dalam sebuah post debunk di forum FAFHH, ditemukan contoh konten fabrikasi berikut. Ahok dikabarkan memesan sendiri 1200 karangan bunga atas penangkapan dirinya. Sebuah akun twitter kabarnya meng-hack chat WhatsApp Ahok dan menyebar screenshotnya. Walau jika dilihat, posisi chat si pengirim salah dan interface chat terlihat tidak alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun