Skandal Cambridge Analytica (CA) dengan Facebook seharusnya membuka mata literasi kita pada dunia digital. Betapa data pribadi kita yang kadang begitu mudah kita unggah dalam daring. Bisa dimanfaatkan untuk menganalisa, menklarifikasi, dan mensegregasi preferensi politik users.
Dengan diotaki Aleksandr Kogan, sejak 2014 CA membayar penggunanya 2-5 USD untuk menjawab sebuah survey sederhana. Dengan 120 pertanyaan, CA mampu mengumpulkan data sekitar 50 juta pengguna Facebook.Â
Dari data 50 juta pengguna ini, parameter algoritma masih mampu menghasilkan data dari 87 juta pengguna lain di Facebook. Karena data users satu sama lain terkait dengan engagement berupa like, komen, share, atau message yang dikirim.
Jika dihitung kasar 2 USD dikali 50 juta pengisi survey CA. Maka didapat 100 juta USD untuk membayar pengisi survey. Sebuah biaya yang tidak murah untuk mengubah klik menjadi sebuah preferensi politik pada pemilu 2016 di US. Namun upaya ini terlihat efektif dan sudah terjadi.
Begitupun yang terjadi di banyak negara. Profiling pengguna via sosmed terjadi secara masif dan terstruktur. Kabarnya, terpilihnya presiden Bolsonaro di Brazil dibantu WhatsApp. Dari laporan sebuah agensi memperkirakan kubu Bolsonaro menggelontorkan miliar dollar untuk mem-blast chat via WhatsApp,
Dengan 71 juta pengguna, WhatsApp menjadi platform chat no 1 di Brazil. Misinformasi yang berisi kebencian, xenofobia, dan penggiringan opini marak beredar via WA grup chat. Karena hampir 60% pengguna sosmed di Brazil percaya berita yang beredar dan viral.
Hal serupa nuansanya pun terasa di suasana perpolitikan di Indonesia. Kabar bohong dan ujaran kebencian berisi konten politik beredar. Menurut Mafindo, selama Juli-September 2018 hampir 60% hoaks berisi konten politik. Platform untuk menyebarkannya didominasi Facebook (47,83%).
Solusinya?
Jumlah pengguna sosmed yang menggiurkan menarik secara ekonomi dan politik. Dari sisi marketing, targeted-ad ala sosmed mengurangi waste beriklan. Sedang secara politis, psikologi pengguna sosmed harus selalu terkungkung echo chamber partisan.
Sehingga, mengurangi user dengan menghapus, menonaktifkan, atau memblokir kurang begitu efektif. Apalagi saat jasa bot mampu men-generarte users abal-abal dengan masif dan sistematis. Istilahnya, mati satu tumbuh berjuta kembali.
Bentuk solutif berupa pendidikan literasi digital harus menjadi tanggung jawab platform sosmed. Misalnya memfasilitasi platform sosmed masuk ke dalam sekolah. Memasukkan literasi digital sebagai tindakan preventif juga sifatnya urgent dilaksanakan.