Sedang pada film HDR, kentalnya campur tangan politik dan kekuasaan. Seperti munculnya edaran dari PAN, agar kadernya ikut menonton film HDR di bioskop. Hanum Rais melalui surat resmi pun meminta rektor UMS menghimbau civitas akademika untuk juga menonton film HDR.
Beberapa hari yang lalu, linimasa dan platform sosmed terbelah. Linimasa dihiasi kabar hoaks film AMCA seperti tiket gratis plus uang, dan menglorifikasi penista agama. Atau film HDR yang sembrono dikabarkan penontonnya lebih banyak dari film AMCA. Karena bisa jadi, hal ini disengaja.
Melalui kedua film ini, netizen menyatakan polarisasi mereka yang secara subtil lama terpendam. Mereka yang enggan secara frontal berdebat, nyinyir, dan ber-twitwor di linimasa kini muncul ke hadapan.Â
Unsur fundamental entertainment dalam kedua film lebih aman dan wajar menjadi aspirasi perspektif politik. Dari mereka yang selama ini diam dalam pandangan politiknya, linimasa mencatat polarisasi. Akumulasi dari polarisasi politik ini adalah kultur hiper-partisan.
Sosmed menjadi media publik yang personal dan real-time beraspirasi politik. Walau tidak sefrontal akun flop. Setidaknya linimasa sosmed seperti Facebook, Twitter, dan Instagram sudah cukup gaduh dengan keributan hiper-partisan.
Walau mungkin kegaduhan netizen akibat politik tidak soal kedua film ini saja. Namun setidaknya kita bisa melihat demografi perspektif partisan. Ternyata yang diam tidak selamanya netral.Â
Karena berusaha netral di tengah hempasan dunia digital dengan mode hiper-partisan adalah kebimbangan. Dan ujung dari kebimbangan kadang adalah memilih para pencari sensasi bukan penyuguh kerja nyata.
Salam,
Solo, 14 November 2018
10:27 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H