Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Narasi Manusia-manusia Notifikasi

2 Oktober 2018   22:46 Diperbarui: 3 Oktober 2018   08:02 2108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya memperhatikan seorang rekan yang selalu sibuk dengan HP-nya. Baru berbicara sejenak, tangan serta fikiran kembali dialihkan ke HP-nya. Begitupun saat makan atau saat mengobrol dengan rekan yang lain.

Pendek sekali ekspansi perhatian seseorang. Notifikasi sosmed berwarna merah itu ternyata intimidatif. Phubbing pun menjadi mahfum yang dirayakan bersama.

Namun, bukankah kita jugalah yang menjadi notifikasi-notifikasi itu. Kita mungkin sudah menjadi manusia-manusia notifikasi.

Eksistensi digital manusia kontemporer menciut menjadi akun dengan profile picture di sosmed. Akun-akun ini hidup dalam sebuah platform sosial media. Lalu ekosistem sosial ini berkonvergensi di sesaknya interaksi linimasa digital.

Banyak orang yang mengikuti the bandwagon alias trending topic. Cukup meloncat mengikuti percakapan yang ada. Kalau butuh bantuan 'teman digital' lain cukup men-tag/me-mention.

Dinamika interaksi sosial pun menjadi ilusi kerumunan. Trending topic yang ada diikuti akun-akun palsu. Akun provokatif dan kadang sarkas menyulut emosi. Semua demi menjebak akun-akun asli untuk nyinyir.

Karena manusia didominasi perasaan semata. Karena berlogika butuh waktu dan tenaga. Percakapan ilusif dibalik akun-akun bodong pun menjadi simulacra atau realitas yang diada-adakan. Ia adalah kebenaran yang terkungkung perspektif bias.

Notifikasi pun diagungkan. Entah dalam rangka membalas posting atau sekadar like. Kita kadang begitu gembira. Ada sebuah kesan kita diakui. Kita diperhatikan. Dan bagi beberapa orang, merasa menjadi selebriti.

Karena keberanian manusia yang membuatnya terus merasa hidup. Maka membuka notifikasi. Membalas komentar umpatan atau caci-maki. Akan memberi adrenaline rush tersendiri. Merasa ditantang berarti merasa eksistensi seseorang menjadi penting.

Namun kadang notifikasi yang tak juga hadir. Kita telusuri dan difabrikasi agar notifikasi dunia digital itu hadir. Kadang menegur teman dengan canda. Kadang pula sekadar berkeluh rasa alias baperan di linimasa.

Kita tunggu 10-15 menit. Ada rasa menggelitik dalam hati. Kenapa tidak ada juga notifikasi dari mention teman di timeline? Kenapa curcol saya pun tidak ada yang merespon dengan like/sad/angry?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun