Saya tertarik pada pernyataan danah boyd, seorang peneliti di Microsoft di artikel Medium.
"Contemporary propaganda ins't about convincing someone to believe in something, but convincing them to doubt what they think they know."
Propaganda kontemporer bukan berfokus pada membuat orang meyakini sesuatu. Tetapi membuat mereka meragukan apa yang mereka sudah ketahui.
Pernyataan diatas kiranya memberi gambaran dibalik konflik sosmed yang terjadi. Berkat tsunami informasi yang terjadi, kita pun terkurung dalam kebimbangan.Â
Sosmed yang begitu lekat dengan hidup manusia modern kini. Nyatanya menjadi agenda propaganda kebimbangan pihak-pihak tertentu.Â
Apakah kita terjebak dalam propaganda tersebut? Mengapa kita kadang mempercayai berita abu-abu atau tidak jelas? Daripada mempercayai fakta yang sebenarnya.
Pertama, berlimpah dan beragamnya informasi justru memberi ilusi kebenaran. Seperti saat supply sebuah komoditas melimpah. Maka harga di pasar turun. Berbeda dengan emas yang jarang dan dihargai mahal. Seperti inilah mindset kita mencari apa yang namanya informasi 'A1'. Informasi yang langka via jalur khusus bisa dijamin kebenarannya.
Jalur khusus ini kita dapat melalui grup chat, linimasa, dan milis. Karena anonimitas, saat kita disuguhkan informasi abu-abu kita pun tak pernah tahu. Bisik-bisik dan ghibah via grup chat malah kadang dianggap sebagai informasi A1. Walau pada kenyataannya, perangkap echo chamber malah menyajikan informasi bermuatan politis, ekonomis, bahkan ideologis.
Kedua, kadang media mainstream dianggap pro penguasa atau pihak mayoritas. Propaganda media mainstream tentu menyuguhkan apa yang membuat penguasa baik adanya. Seperti inilah bentuk propaganda primordial. Memberikan publik apa yang dianggap baik, dan menjaga kestabilan dan keamanan.
Memiliki perspektif anti-mainstream menjadi tantangan. Dan membuktikan tantangan ini seolah menjadi kemenangan pribadi dan kelompok. Menegasikan arus berita utama tidak perlu lagi proposisi 5W+1H. Cukup konfirmasi like/komen/share dari sosok oposisi dominan. Validasi kebenaran adalah milik mereka.Â
Ditambah bebasnya dan liarnya jari-jari netizen melabeli kita pada sebuah kutub polarisasi. Walau kadang hati kita tidak sreg dilabeli sebutan tertentu karena perbedaan ideologi, politik, sampai ekonomi. Tapi netizen dibalik akun bodongnya bisa serampangan saja melabeli kita.
Bertahan pada netralitas di sosmed berarti melawan berkuasanya algoritma dan julidnya jemari netizen. Kadang label sosmed ini yang membuat kita bimbang. Kitapun kadang harus memilih prinsip, partisan, dan tingkat sosioekonomi.Â
Guna mengoyak keyakinan di era post-truth saat ini, kebimbangan adalah senjata. Dengan menyuguhkan hal-hal yang abu-abu, ragu-ragu atau penuh wasangka. Kita sejatinya secara tidak langsung membangun keyakinan yang sudah kita pilih.
Dan hidup dan tumbuh dalam kebimbangan ini kitapun tidak sendiri. Ada lingkaran berupa filter bubble yang menguatkan keyakinan (abu-abu) kita ini. Tak perlu menelusuri dan memvalidasi informasi jauh-jauh di luar bubble ini. Apa yang menjadi konvensi kelompok chat itulah kebenaran personal.
Entah itu grup chat menyoal pilihan presiden atau pro anti-vaksin. Kebimbangan dalam bentuk counter-information akan selalu diberikan. Bahkan tak jarang rela memalsukan dan membengkokkan fakta yang sudah ada.
Salam,
Solo, 20 September 2018
04:58 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H