Informasi yang viral di sosmed, tidak jarang menjadi konflik di dunia nyata.
Masih hangat dalam ingatan kita soal kasus Meilina di Tanjung Balai, Sumut. Penghancuran vihara dan latensi konflik etnis menjalar via medsos ke dunia nyata.
Begitupun beberapa kali tragedi penghalangan deklarasi #2019GantiPresiden yang menjadi keprihatinan beberapa pihak.
Semua orang kini seolah mudah disulut emosinya via medsos. Karena sifatnya yang begitu personal dan real time. Ditambah isu SARA dan partisan yang begitu banal menyusup.
Orang dengan akun Twitter-nya sanggup mengompori satu tagar agar menjadi trending. Atau dengan akun Facebook-nya mudah saja men-share/like/komen posting agar terus 'tersundul' di linimasa.
Konflik horizontal di masyakarat pun terbentuk. Disinformasi penculikan di India via WhatsApp memakan puluhan nyawa. Konflik bernuansa agama di Myanmar menyebar luas berkat Facebook. Gerakan anti vaksin jaundice via pesan WhatsApp bodong membuat was-was pemerintah Brasil. Peristiwa Tahrir Square 2011 di Mesir yang didukung tagar Twitter mampu menggerakkan massa yang masif.
Jika dahulu isu sosial didapat via koran/selebaran/poster yang memakan waktu cukup lama. Ditambah pengorganisasian massa yang birokratif dan rumit.
Kini semua itu disingkat dengan sosial media. Batas ruang dan waktu tiada lagi menjadi penghalang sebuah isu menjadi sebuah gerakan massa.
Cukup me-mention akun para pejabat via Twitter dengan sebuah foto peristiwa sosial. Akan segera muncul tindakan mengatasi tragedi tersebut.
Tulis narasi dramatis plus foto dalam posting Facebook. Akan banyak akun yang mengerubungi agar posting tadi viral.
Rekam saja video 15 detik dan unggah di Instagram menyoal polah merugikan satu oknum. Lalu tunggu sampai beritanya menjadi sorotan televisi.