Begitupun hate speech yang secara daring di India yang bertumburan pada isu pemerkosaan.
Di Myanmar, ujaran kebencian pun sudah menimbulkan konflik antar agama mayoritas dengan agama minoritas.
Begitupun gerak linimasa di Rusia yang dipenuhi ujaran kebencian pada Ukraina yang menguasai Crimea sejak 2014 sampai 2017.
Pada contoh di atas, ujaran kebencian umumnya didominasi isu SARA, nasionalisme dan paham partisan. Walau ada batas blur yang kadang dijadikan alibi para penutur online hate speech.Â
Hate speech dianggap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi/beropini. Ditambah anonimitas via sosmed yang menjadikan kebebasan opini disalahartikan dan disalahgunakan.
Walau ada perundangan UU ITE yang mewanti-wanti akibat ujaran kebencian, tapi masih ada tumpang tindih dengan pasal lain. Istilah dalam UU ITE pun sempat digugat ke MK oleh ACTA karena dianggap ambigu.
Kebebasan berekspresi ala medsos memang pada akhirnya kembali kepada isi dan makna yang disampaikan. Namun kadang, kepentingan ekonomi, SARA, dan partisan merancukan aturan yang ada.
Bersembunyi di balik (banyak) akun untuk menebar hate speech pun pelik dicari solusinya. Dengan bebas, cepat, dan tidak terbatasnya seseorang membuat akun, rantai bisnis hate speech terbentuk.
Bisnis yang melibatkan kerahasiaan konsumen dan produsen ini bak kartel narkoba. Di Indonesia sendiri, perang melawan produsen hate speech terus berlangsung.
Kembali pada ilustrasi contoh saya di atas, hate speech sudah ada di hadapan kita. Bukan hanya perkara posting/tweet yang berisi atau mengkiaskan kebencian atas nama suku, ras atau agama. Tapi perspektif atau mindset yang sudah kadung terbentuk.
Lalu, akibat konfirmasi bias ala sosmed yang begitu lama dan dipupuk setiap waktu, ancaman online hate speech sebagai pemecah bangsa sepertinya kian nyata.