Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Fenomena Pilkada Digital

27 Juni 2018   11:20 Diperbarui: 27 Juni 2018   14:54 2311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Digital Political Campaign - ilustrasi: marketing.3metas.com

Serentak di banyak daerah di Indonesia, hari ini Pilkada dihelat. Para pemilih sesegera menunaikan hak politik mereka di TPS. Lalu, tak lupa memposting foto jari yang sudah dicelupkan tinta di sosmed. Agar ada legitimasi digital sudah melaksanakan tugas sebagai warga negara. Tak lupa, me-like, share atau komen meme koplak celupan tinta TPS di grup WAG atau linimasa FB.

Pra-Pilkada pun, dunia digital sudah dihiasi nuansa Pilkada. Dari mulai posting survei elektabilitas. Sampai quote inspiratif calon pemimpin disertai nomor urut, berseliweran di sosmed. Belum lagi dinamika dibalik posting tersebut. Dari peran buzzer sampai intrik kolom komentar makin menggelorakan nuansa Pilkada.

Posting bernuansa SARA masih mendominasi kampanye digital. Karena kesukuan, agama, dan ras begitu personal bago para pemilih. Unsur SARA dapat menggugah emosi, psikis bahkan aktifitas fisik. Bahkan jika sudah begitu masif dan terstruktur, kampanye digital SARA mengakibatkan sanksi pidana bagi seorang calon pemimpin. 

Kadang, sampai usai Pilkada dan salah satu paslon korban kampanye SARA berkuasa. Barisan sakit hati masih bersliweran di linimasa sosmed dengan olok-olok dan nyinyirannya.

Banyak paslon menggunakan kampanye digital. Selain sebagai sarana menggapai pemilih secara lebih personal dan targeted. Kampanye via dunia digital menjadikan masa kampanye lebih holistik kejamanan. Dengan kata lain, kampanye konvensional tidak efektif di era dimana informasi dunia berada dalam genggaman. Pun, secara biaya bisa jadi kampanye digital lebih efisien.

Bagi para pemilih melek digital, kampanye digital menjadi ajang 'menguliti' calon pemimpin mereka. Jejak digital dulu yang merekam kinerja mereka bisa menjadi acuan dalam memilih. Baiknya, linimasa sisi kontra dan ditelaah dengan baik. Walau memakan waktu dan tenaga. Mencari pemimpin baik adalah tanggungjawab 5 tahun ke depan.

Bagi pemilih yang tak begitu peduli kampanye digital. Mencari pemilih tetap dilakukan informasi sana-sini. Pun kadang konsultasi melalui grup chat/sosmed lain bisa dilakukan. Walau kadang banyak yang terjebak dalam filter bubble sosmed. Kadang fanatisme kepartaian dalam keluarga atau kedaerahan masih kuat.

Sebentar lagi, linimasa sosmed dan media mainstream akan sesak dengan hasil quick count. Netizen pun akan meramaikan dengan hashtag mendukung salah satu paslon. 

Berdasar lembaga survei andalannya, mereka beradu hasil hitung cepat di linimasa. Tidak lupa hasil foto hasil penghitung surat suara dari banyak TPS sebagai bukti dari relawan paslon. 

Hasil quick count kadang menjadi parameter kemenangan. Hal yang kian menjadi lumrah karena hasil hitung KPU/KPUD yang lama dan kumulatif. Nantinya ada beberapa paslon yang langsung merayakan kemenangan dengan dasar quick count. 

Jika kalah, akan diadukan menjadi kasus perdata sengketa Pilkada seperti yang sudah-sudah. Pun kadang sampai menimbulkan bentrok publik, yang juga nantinya jadi konsumsi berita netizen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun