Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena Tik Tok dan "Bubble" Generasi Zaman Now

16 Juni 2018   12:25 Diperbarui: 16 Juni 2018   16:36 3213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Douyin atau di Indonesia dikenal dengan Tik Tok, kini menjadi aplikasi idaman. Aplikasi yang menjadi idaman anak kecil sampai orangtua ini mengundang kritik dan pujian. Ternyata, kreatifitas users Tik Tok di Indonesia menarik untuk diamati, walau hanya dalam hitungan detik. Namun, banyak juga yang prihatin dengan aplikasi ini.

Tik Tok adalah aplikasi besutan ByteDance yang kini menjadi aplikasi paling banyak diunduh di dunia. Jumlah unduhan Tik Tok sejak dirilis tahun 2016 mencapai hampir 49 juta kali. Jumlah ini lebih besar daripada YouTube, Facebook dan Instagram. Jumlah pengguna Tik Tok di Tiongkok sendiri mencapai 300 juta active users. Sedang secara global pada akhir Juni 2018, ada lebih dari 150 juta active users di aplikasi Tik Tok.

Menurut laman technode.com, setidaknya ada beberapa manfaat Tik Tok. Pertama sebagai media showcase kreatifitas user yang unik dan spesifik. Baik itu dari kreator sosmed profesional maupun orang biasa. Kedua, Tik Tok sebagai sosmed pencari talent dan kreator. DI Tiongkok sendiri, Tik Tok sudah men-endorse beberapa konten kreator. Dengan fitur video yang makin lengkap dan users-friendly, setiap orang bisa menjadi krator konten. Dan ketiga, sebagai ajang mencari hadiah atau sekadar viral. Brand fashion seperti Michael Kors sering mengadakan challenge bagi users Tik Tok. Di Indonesia sendiri, viralitas video Tik Tok pun sampai dikomersilkan beberapa pihak.

Di Tiongkok sendiri, adiksi terhadap Tik Tok menjadi isu negatif. Banyak users Tik Tok menghabiskan berjam-jam menonton video. Video di Tik Tok sendiri berkisar tentang talent, challenge, stunt, joke, sampai prank. Dengan durasi singkat dan algoritma Tik Tok, video menarik dan lucu membuat Tik Tok sulit untuk ditinggalkan. Beberapa orangtua disana pun khawatir pada video vulgar yang juga viral menyasar anak-anaknya. Kini Tik Tok sedang meng-update privacy, control, dan users' experience.

Di Indonesia sendiri, Tik Tok pun mengundang kekhawatiran. Banyak komentar netizen yang melihat viralitas Tik Tok di kalangan anak-anak cukup meresahkan. Setidaknya, yang saya perhatikan Tik Tok memang digandrungi anak-anak Indonesia. Berikut beberapa hal yang bisa saya pelajari dari fenomena Tik Tok ini.

Bubble Social Media - ilustrasi: immediatefuture.com
Bubble Social Media - ilustrasi: immediatefuture.com
Pertama, konten kreatif atau sekadar jiplak/salin. Dengan model algoritma Tik Tok yang didasarkan perilaku berdasar konten yang dikunjungi user sebelumnya. Tik Tok menciptakan bubble pada jenis video yang disaksikan. Dampaknya, ada kecenderungan user untuk meniru. Walau dengan latar dan orang yang berbeda, biasanya satu konten memiliki plot yang serupa. Bisa juga, membuat video hanya sekadar untuk viralitas atau mencari hadiah dengan challenge video. Dan apalagi, hal ini dialami dan dilakukan anak-anak.

Kedua, terjadinya adiksi pada konten bukan resonansi. Di era tsunami informasi, konten menjadi konsumsi wajib sehari-hari. Banyak orang melihat informasi, tetapi jarang memahami esensi konten tersebut. Sederhananya, users berlomba menciptakan konten demi viralitas/memenangkan lomba. Sedang sedikit konten spesifik yang dibuat. Konsitensi pada satu minat menjadi luntur saat ada konten yang lebih menarik diciptakan. Anak akan memilih menyaksikan saja daripada mencipta. Apalagi saat pengawasan orangtua longgar atau bahkan tidak ada.

Ketiga, terjadi bubble generasi jaman now yang gagap dunia nyata. Adiksi pada konten Tik Tok menjauhkan seseorang pada kehidupan nyata. Karena mereka fikir, dunia ada di dalam genggaman. Walau yang sebenarnya tersaji di Tik Tok adalah homogenitas algoritma belaka. Dampaknya, adiksi ini mengaburkan dunia nyata. Pada anak, mereka akan kehilangan jam bermain/bersosialisasi dengan teman. Waktu mereka bisa jadi habis membuat video Tik Tok beraneka ragam. Atau sekadara melihat video Tik Tok yang hemat pulsa dan koneksi.

Secara spesifik, jika video Tik Tok kian marak dan tidak terkendali generasi kita terjebak dalam bias sosmed. Lagi-lagi, mereka akan lebih gandrung dan tertarik pada dunia digital. Hilanglah masa kecil mereka yang habis dengan menonton video Tik Tok. Persis seperti video Tik Tok 3 hari lalu  yang tidak lagi diingat kini. Fikiran mereka dipaksa berfikir praktis. Sedang literasi digital mereka masih diambang minim.

Indonesia dengan gambaran generasi saat ini, bisa mengalami krisis kemanusiaan di masa depan. Krisis menyoal menjadikan manusia sebagai mahluk sosial sessunguhnya. Bukan manusia yang bersosialisasi sepenuhnya di dunia maya. Saat pendidikan kita masih sibuk gonta-ganti program. Pendidikan digital sebagai pondasi Gen Z, dibiarkan liar difahami sendiri-sendiri. 

Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun