Kembali saya tuliskan menyoal sisi lain Ramadhan. Hal-hal yang ada tapi tidak begitu dipedulikan. Setidaknya saya peduli kawan.
Menyoal perang batin di penghujung malam dan siang di bulan Ramadhan. Sebuah konflik isi kepala dengan hati nurani. Ketika logika berbenturan dengan bisik hati. Ketika disrupsi logika bergesekan dengan murni bisik nurani.
Pertama, konflik menghabiskan uang THR. Uang THR yang baru saja turun menjadi konflik batin tersendiri. Ada keinginan untuk membelikan sandang dan pangan istimewa untuk Lebaran. Kabar sana-sini, mal A/B/C sedang diskon besar-besaran. Nanti belikan snack A/B/C untuk Lebaran. Juga, masak spesial A/B/C nanti untuk Lebaran. Sedang bisik hati berkata sisakan uang untuk menabung. Belum juga 3 hari THR datang, sudah raib berganti ragam sandang dan pangan.
Kedua, konflik mengurangi waktu ibadah untuk berbelanja. Biasanya solat Dhuhur bisa ke mesjid. Kini harus menemani berbelanja ke Mal. Ashar pun dijamak karena belanja cukup antri. Besok malam juga mau ikutan midnight sale. Usai sholat Magrib, langsung berangkat ke Ma. Sholat Isya nanti di mushola Mal yang sempit saja. Tarawih bisa dirumah menjelang tengah malam nanti. Logika bergulir mencari keringanan beribadah. Sedang nurani menolak mengurangi khusyuknya ibadah Ramadhan.
Ketiga, konflik mencari alasan meninggalkan sementara rumah ibadah. Dari konflik sebelumnya, muncul kegelisahan ini. Karena waktu tersita, mesjid pun bukan menjadi tempat yang sering dikunjungi di akhir Ramadhan. Dalam 2 minggu ke depan jadwal padat. Mulai dari bukber sampai heboh mau ikut midnight sale. Sedang hati ingin sekali menyepi dan melarutkan diri dalam beribadah di ujung Ramadhan. Tapi, kadang sisi mahluk sosial menghancurkan sisi mahluk Tuhan.
Keempat, konflik mudik dengan tetek bengeknya. Mudik kalau bisa seminggu sebelum Lebaran. Biar lama di kampung. Padahal di kampung hanya sibuk selfie, jalan-jalan buat post Instagram dan chat dengan teman di WAG. Jangan lupa beli oleh-oleh dan jajan nanti sepanjang jalan saat mudik atau arus balik. Walau hati sebenarnya ingin mudik sesederhana mungkin. Hanya ingin berkunjung dan menjalin tali silaturahim. Melihat sanak famili yang jarang bertemu. Atau benar-benar ingin meminta maaf pada orangtua.
Kelima, konflik kunjung mengunjungi saat Lebaran. Lebaran masih jauh, tapi konflik batinnya bergejolak. Besok 2 hari Lebaran, akan pergi ke rumah saudara A/B/C. Padahal tahun lalu belum sempat ke rumah sanak famili D/E/F. Tapi uang dan ongkos kendaraan akan bertambah jika mau kunjungi G/H/I. Sedang lubuk hati sungguh ingin menghabiskan Lebaran nanti di rumah saja. Berkumpul dengan keluarga kecil. Jika ada yang datang silaturahim, disyukuri. Jika tidak tidak perlu merasa sungkan sendiri. Tak perlu gengsi dengan ketidakmampuan diri.
Keenam, konflik batin saat meninggalkan Ramadhan. Di satu sisi, Ramadhan usai berarti usai pula konsumsi berlebihan. Tidak ada lagi THR atau parcel usai Ramadhan nanti. Rutinitas banal bekerja kembali dilakukan. Walau di sisi yang seharusnya, Ramadhan usai patutnya hati bersedih. Karena tidak ada lagi bulan seistimewa Ramadhan. Dimana ibadah adalah langsung urusan Tuhan dengan manusia. Sepatutnya hati bersedih merindukan kesucian Ramadhan. Tapi logika akan merindu pola konsumsi ala Ramadhan.
Konflik batin 1-6 bisa dialami dirimu dan diriku kawan. Saya fikir, jarang orang yang hanya berat pada salah satu konflik saja.
Salam,
Solo, 11 Juni 2018