Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Hadiah Ramadhan yang Tak Pernah Teraih

8 Juni 2018   21:55 Diperbarui: 8 Juni 2018   22:19 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran datang dalam hitungan minggu. Hidmat alam kini berkidung memuji sang Maha Pembuat. Manusia yang tak lelah bersujud, kini merintih haru meninggalkan Ramadhan. Semoga mereka meraih hadiah sang Ramadhan. Yang aku tak pernah raih.

Sudah terbilang 20 kali Lebaran terlewati. Sudah banyak lika-liku berpuasa yang lesap saat usia menua. Tapi entah mengapa, tiada juga Ramadhan menjadi hadiah terindah. Setidaknya untuk diri sendiri.

Puasa ini masih berhadiah lapar dan dahaga sahaja. Tiada pernah berbekas rasa tunduk dan diam untuk sekadar merefleksi. Betapa rapuh rasa empati diri pada mereka yang untuk makan saja masih kurang. Menjelang tidur ini pun, masih ada es dawet yang hendak diminum.

Limpahan rizki hanya menjadi barang konsumsi. Ramadhan istimewa pada hidangan di meja makan. Sedang kerontang hati mencoba meresapi mengapa diri harus lapar satu hari. Karena menyoal urusan perut, kadang logika turut menciut. Apalagi hati yang senang gula, lalu makan dengan gila.

Tiada pernah mereda ingin untuk mempercantik diri. Seakan hadiah Ramadhan dinilai dengan segala yang baru. Apa sudah begitu materialistikkah pandang ini. Apa sudah deterministikkah menghamburkan THR demi rekognisi Lebaran. Sedang hadiah hakikat itu seolah lepas dari genggaman.

Ingin sekali lepas dari kunkungan membeli. Tapi tradisi ini menjadi rezim penakluk nurani. Tanpa uang yang habis dibelanjakan. Kadang orang memandang kita tiada mengenakan. Berbelanja lebih adalah hukumnya kini. Walau isi rekening kadang mengingkari.

Dalam nalar seorang pemuja Tuhan yang rendah ini. Betapa hebat mereka yang tiada putus dzikir saat berpuasa. Betapa syahdu hati dengan senandung ayat suci yang dikidungkan usai sholat. Indah nian perilaku persona beriman memberi sedekah, takjil, dan zakat tanpa berat hati memberi.

Pasti, malam Qadar pun merindui para ahli ibadah dan sedekah di Ramadhan ini. Pasti, hadiah berupa ampunan, belas kasih dan nirwana menanti mereka. Dan yang lebih penting, adalah esensi puasa sebagai orang bertakwa. Takwa adalah ibadah diri pada Tuhan yang diejawantahkan dengan etika.

Pada penghujung Ramadhan, selalu dilangitkan doa panjang usia. Agar bisa bertemu kembali bulan Rajab, Sya'ban, dan Ramadhan nanti. Agar lulus ujian berpuasa tahun depan. Agar dapat hadiah istimewa Ramadhan.

Hadiah yang diukur dari hikmah puasa sejati. Hadiah yang dinilai pada sodaqoh yang tidak lupa diberi. Hadiah yang dikalkulasi dengan semakin khusuyuknya ibadah yang dilakukan. Hadiah yang hanya Tuhan sendiri akan memberi. Karena puasa menjadi ibadah antara hamba dan Tuhannya. 

Namun sayang, bisa jadi Ramadhan saya hanya dinilai manusia. Dan itupun dari diri yang letih bergulat dengan dunia.

Salam,

Solo, 8 Juni 2018

10:03 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun