Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sebuah Dekonstruksi THR

6 Juni 2018   13:05 Diperbarui: 6 Juni 2018   13:07 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Money Blur by Fancycrave - foto: pexels.com

Mari mencerabut apa itu THR. Sebuah penjabaran yang mungkin rumit. Tapi jika kau baca petandanya, mungkin kau bisa mengerti kawan. Dan semoga setelah memahaminya, berkecamuk suka dan duka dalam hatimu.

THR adalah indikator kepatuhan pesan tamsilan hidup Nabi. Pesan ini diintisari berdasar kisah mesiah era lampau. Bahwa merunut hikayat, Nabi pun merayakan hari Idul Fitri. Pakaian istimewa yang dikenakan nabi menjadi dasar makna merayakan hari raya. Karena untuk mencercap entitas istimewa secara jasadiah, kemampuan membeli menjadi parameter.

THR adalah liturgi antara kapitalis dan kaum pekerja. Ini adalah perjanjian membentuk realitas dari hikayat mesiah di atas. Dengan dimediasi pemerintah dengan undang-undang, THR menjadi kewajiban para pemilik modal. Para pekerja tidak menuntut THR secara frontal. Namun didasarkan intuisi pemeluk agama yang taat dan nurani holistik. Pemerintah pun sekarang menjadi sebuah panopticon simbosis semacam ini.

THR lalu menjadi etika dengan repetisi realitas diatas. Secara sadar pemilik modal menganggarkan THR para pekerja. THR menjadi substansi kontrak hitam di atas putih pekerja-atasan. Konsekuensi deviasi menjadi tindak imoralitas, kasus perdata, bahkan bisa jadi persekusi fisik. Generalitas fenomena THR di dunia industri adalah aturan eksakta.

THR merupakan logika deduktif-induktif simbosis pekerja-pemilik modal. Saat pekerja sudah melakukan rutinitas sesuai jobdesk, gaji, THR, atau bonus menjadi konklusinya. Sedang detail pekerjaan yang baik dan sesuai target perusahaan adalah hak bagi pemilik modal. Walau pada prakteknya, ada kompensasi baik di sisi pekerja atau pemilik usaha untuk logika yang ada.

THR adalah sebuah axiom bagi pekerja di tingkat sosial. Mendapat THR adalah postulasi masyarakat pada pekerja. THR menjadi legitimasi kalau seseorang benar-benar bekerja. Sedang pengangguran dan wirausaha, THR bukan menjadi sebuah isu. Karena secara finansial, jumlah THR kadang berbanding sama omset beberapa periode waktu. 

THR sebagai faham facticity kaum pekerja. THR di satu sisi membatasi probabilitas finansial seorang pekerja. Bisa jadi, ia mampu menjadi pedagang hebat daripada bekerja di sebuah pabrik. Di sisi lain, ia membebaskan dari ketidakpastian penghasilan. Rugi uang, waktu dan tenaga ditanggung sendiri jika berdagang. 

THR menjadi eksistensi keluarga di hari Raya. Dari daya beli yang cukup dengan mendandani fisik yang baik. Keluarga dilabeli laik ber-Lebaran. Bukan karena tuturan yang nyinyir anak tidak berbusana baru saat sungkem. Tapi norma tak tertulis yang tumbuh di publik berbasis konsumerisme yang cukup masif. Esensi merayakan Ramadhan, tersirat direstropeksi kepada banyak THR yang didapat.

THR menjadi entitas jurnalistik menjelang hari Raya. Setiap media menjadikan THR adalah komoditas berita. Mulai dari besaran THR sampai pelanggaran tidak memberi THR adalah berita. Fungsi watchdog pada jurnalisme dalam demokrasi akan selalu ada, pun pada isu THR. Karena menyangkut hak dan hajat hidup orang banyak.

THR menjadi interaksi komodifikasi dunia digital. Sudah banyak beragam meme dibuat menyoal THR. Dari anekdot sampai sarkastik, meme THR mampu mengundang tawa dan berfikir. Bagi yang menanti THR, rasa bahagia dititipkan sedikit demi sedikit dengan menertawai meme THR. Bagii yang tidak, cukup tersenyum simpul sembari swipe posting lain.

Huffftt... semoga kau semakin bingung kawan.

Salam,

Solo, 6 Juni 2018

01:05 pm 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun