Bangun sahur pukul 3:30 ibu sudah menyiapkan yang sederhana saja. Cukup mie instan dan kadang ditambah susu Milo. Katanya biar puasa kuat. Walau aslinya alasan ibu biar si anak senang. Karena jarang sekali mencicip susu Milo untuk makan. Dengan sop dan tempe juga kadang harus bersyukur.
Seusai sahur, ibu meminta sang anak pergi ke mesjid. Walau sebenarnya bukan karena permintaan ibu si anak berangkat. Karena sudah janji dengan teman sebaya. Kalau habis magrib nanti tidak usah pulang. Langsung cabut ke tanah lapang di dekat kecamatan. Kabarnya disana banyak bermain petasan.
Pun kadang pergi ke mesjid tidak sampai di tempat. Karena si anak harus segera mengantri petasan yang dijual di sebuah warung. Konon, kata teman-teman. Kalau sudah habis shubuh petasan jangwe dan cabe rawit sudah habis. Masa mau perang-perangan petasan pakai kembang api? Biar tambah jago bidik 'musuh'. Seorang teman membawa pipa paralon. Walau di lapangan, malah jarang dipakai.
Kadang ada saja teman yang membangunkan si anak pukul 2 malam. Teriak-teriak di depan rumah. Karena malamnya sudah janjian ingin berkeliling bangunin sahur. Dengan bedug kecil yang dibawa ke gerobak. Beserta kaleng dan besi bekas, mulailah parade berisik membangunkan sahur. Sering, sembari berkeliling komplek bangunkan sahur. Mangga pak Amat hilang beberapa biji. Kadang juga jambu pak Bowo yang ditimpuk sendal untuk diperebutkan kerumunan saat jatuh. Kalau ketahuan empunya, pokoknya lari sekencangnya.
Seusai ashar, sang anak sudah merasa lapar. Mengadu ia pada si ibu. Sang ibu hanya berkata tulus, untuk tahan barang sebentar. Si anak sudah kelaparan tiada tara. Sebab di sekolah dan saat bermain, semua tenaga habis. Puasa atau tidak, sekolah dan main tetap berstamina. Tiada pernah terfikir untuk batal puasa.
Bedug magrib terdengar nyaring dari mesjid. Kabarnya, yang mau pukul bedug harus berbuka lebih dulu. Minimal minum. Karena bedugnya besar dan pemukulnya berat.Â
Si anak segera berlari ke mesjid seusai berbuka segelas sirup dingin dan sepotong tempe. Kata temannya, takjil di mesjid lebih banyak macamnya. Benar saja. Di masjid banyak sekali orang. Mulai dari bapak-bapak sampai anak-anak berkerumun. Di pelataran mesjid sudah dihidangkan beragam takjil. Donat berlumur gula tepung menjadi favorit si anak sayangnya sudah habis. Esok hari ia harus datang lebih cepat ke mesjid fikirnya.
Seusai magrib, si anak pulang untuk makan. Hidangan sayur lodeh dan ikan asin sudah begitu nikmat. Apalagi bersama keluarga makan bersama. Tak lupa sebelum berangkat sholat Isya dan Tarawih, buku kegiatan Ramadhan ia harus bawa. Kata ibu guru, si anak harus mengisi buku dengan lengkap. Konon kalau tidak lengkap nilai mapel Agama bisa jelek.
Jumlah ayat Quran yang dibaca harus diparaf orangtua. Jumlah tarawih beserta nama imam dan parafnya harus lengkap. Walau kadang si anak tidak sholat Tarawih dan membaca Quran. Ada saja cara yang dibuat berdasar cerita teman. Ikut antri saja seusai tarawih selesai buat paraf si imam. Atau karang saja surat yang dibaca. Toh, guru Agama di sekolah juga tidak akan datang ke mesjid dan menanyai tiap imam tarawih. Dan cara ini berhasil.
Mendekati Lebaran, ibu sudah sering mengajak ke pusat perbelanjaan. Si anak dibelikan sendal baru. Sendal yang lagi tren di TV yang berhadiah mainan. Tidak lupa baju koko untuk lebaran plus celana panjangnya. Satu setel baju dan sendal, sang anak sudah sangat bahagia. Jadi bisa pamer sedikit ke teman-teman di gang. Kalau si anak ikut Lebaran.
Ramadhan si anak adalah mencari puasa. Puasa yang bukan sekadar dihiasi rasa lapar dan dahaga belaka. Tapi mempelajari cara mendapat pahala. Perlahan. Dengan caranya dan dijamannya sendiri.