Perundungan atau perisakan siber (Ps) atau cyberbullying kian meredup di tengah isu berita hoaks. Saat banyak media dan pihak mencanangkan wacana tangkal hoaks, Ps bebas merajai linimasa sosmed. Setiap akun, asli/palsu, bebas melakukannya. Dari mulai akun selebritas sampai orang biasa terkena Ps. Nyatanya, masih banyak orang yang nyinyir dan sarkas di kolom komentar.
Dampak Ps diperkirakan lebih dahsyat dari perisakan langsung. Jika seorang dirundung di sekolah, maka guru/wali kelas/guru BP bisa menyelesaikan. Namun pada Ps, korban bisa lepas kontrol dari apa yang terjadi secara online. Bisa jadi foto yang jadi bahan ejekan viral di Instagram. Lalu menjadi meme dengan caption lucu. Sedang jejak digital permanen dan sulit dilacak. Bagi pelaku Ps, hal ini lucu. Namun bagi korban Ps, bisa sampai menimbulkan kecenderungan depresi sampai bunuh diri.
Kasus Ps ini banyak terjadi pada usia remaja yang faham teknologi dan gadget. Pada usia ini, aktivitas peer-group berperan besar membentuk kepribadian. Karena remaja sedang mengalami krisis identitas, pemberontakan, dan bersikap trial-and-error tanpa pikir panjang. Hal ini diperparah jika remaja tidak faham literasi media dan digital. Keharmonisan dan komunikasi yang kurang baik dalam keluarga juga mengamplifikasi dampak Ps.Â
Bentuk-bentuk Ps yang paling umum ditemui ada beberapa. Dari mulai doxing atau menyebarkan data personal. Lalu ada cyberstalking atau mengikuti secara online akun-akun sosmed korban, kadang disertai ancaman. Revenge porn atau aktivitas membalas dengan penyebaran foto/video, kadang disertai intimidasi/pemerasan. Trolling atau mengejek/mempermalukan via komen/meme. Dan flaming atau mencaci maki via chat grup/email.
Dirangkum dari rappler.id, seorang siswa SMP bernama Caca dikucilkan di sekolahnya. Caca mendapati grup "ABC" di Facebook yang didalamnya banyak terdapat teman sekolahnya. Usut punya usut, ternyata grup ABC adalah singkatan "Aku Benci Caca". Menurut UNICEF di tahun 2016, ada sekitar 41%-50% remaja usia 13-15 pernah mengalami Ps di Indonesia. Dan kadang, korban Ps juga mengalami perundungan langsung atau offline. Ada juga indikasi, korban Ps bisa menjadi pelaku Ps di masa depan.
Menurut data survei APJII di tahun 2017, dari 143 juta pengguna internet sekitar 17% berusia 13-18 tahun. Walau komposisi pengguna internet di usia remaja di bawah usia dewasa (49,52%). Namun penetrasi pengguna internet hampir sama. Pada remaja mencapai 75%, sedang dewasa 74%. Dengan kata lain, 24 juta remaja di Indonesia cukup aktif di dunia maya. Bersaing ketat dengan orang dewasa (usia 19-34).
Media mainstream kini masih berlomba meliput berita hoaks. Ditambah tahun politik yang penuh intrik, semua isu menjadi politis. Dan saat sudah politis, maka diangkat menjadi berita. Isu Ps pun meredup seiring banyaknya informasi yang melulu soal hoaks partisan. Sedang remaja kita dibiarkan bersenang-senang di dunia maya. Otoritas pendidik pun masih sibuk (tidak pernah usai) berbenah. Sampai perundungan siber pun sering terjadi.
Bisa jadi, beberapa tahun ke depan banyak korban Ps mengemuka. Lalu perhatian kita pun tersedot kembali kepada isu ini. Sedang Ps sudah menjadi penyakit akut karena pola balas dendam. Sulit mengamati aktivitas Ps. Baik pada level orang tua sampai sekolah, aktivitas online siswa nampak nihil diawasi. Pun membatasi durasi online mereka pun bukan menjadi solusi. Karena remaja pasti ada cara untuk bisa online. Dan kadang lebih melek digital daripada orangtua/gurunya.
Sudah saatnya literasi media dan literasi digital menjadi topik dalam pendidikan. Bangsa kita begitu gandrung internet. Tapi sayang, kegemaran tadi tidak disertai ilmu dan panduan yang cukup. Tak heran isu hoaks, hate speech, sampai cyberbully menjadi konsumsi pikiran sehari-hari.
Salam,
Solo, 1 Juni 2018