Hal itu diperparah karena ada nuansa agama mayoritas yang melakukan deviasi ini.Â
Secara psikologis, siswa diminta mengingkari konvensi bersama. Siswa saya rasa tahu tentang hari libur keagamaan. Karena kalender di rumah masing-masing menunjukkan tanggal merah.
Orangtua/keluarga pun bisa jadi memberi tahu hari libur itu hari keagamaan. Pun, siswa pasti kecewa tidak libur. Dan disinilah siswa dijejali dan diajarkan untuk intoleran pada hari keagamaan diluar agamanya.Â
Dari ulah makro, sekolah yang tidak meliburkan. Menjadi isu mikro, siswa yang kecewa tidak libur. Siswa dijejali dan diajarkan oleh sistem untuk intoleran pada hari keagamaan diluar agamanya.
Mungkin bagi mereka yang berada di level makro, hal ini sepele. Namun bagi yang peduli isu toleransi seperti rekan saya. Hal ini mengkhawatirkan.
Sudah waktunya otoritas terkait mencari solusi. Atau bahkan menindak sekolah yang mengajarkan intoleransi semacam ini. Masih fresh dalam ingatan kita beberapa SMP di Jambi tidak melaksanakan upacara.
Bisa jadi karena intoleransi seperti ini terjadi radikalisasi atas nama agama. Menghormati Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi kewajiban pendidikan kita bukan?
Semoga menjadi periksa.
Salam,
Solo, 30 Mei 2018
12:58 pm