Landasan tridarma perguruan tinggi kadang dilakukan semata untuk cum atau poin naik pangkat. Mengajar menjadi rutinitas yang kadang tidak penuh inovasi. Penelitian pun kadang hanya hal itu-itu saja. Sehingga tak heran jurnal ilmiah banyak di Scopus. Namun tidak banyak disitasi. Pengabdian pun kadang masyarakat hanya sebatas dilakukan dan dilaporkan.Â
Keempat, status quo sistem pendidikan ala bisnis. Kembali, perguruan tinggi pun kini berpagu pada revenue. Dengan PTN yang kurang dari 150, banyak yang memilih PTS. Pada PTS unggul dengan uang gedung tinggi dan SPP selangit, lulusan bisa dijamin bagus. Namun bagaimana nasib lulusan PTS biasa-biasa aja, yang jumlahnya lebih dari 3,000 institusi?
Mendidik lulusan SMA yang sudah unggul mungkin lebih mudah. Mereka bisa mandiri dan sadar mau diapakan ilmunya setelah lulus sarjana. Sedang bagaimana dengan mereka yang 'pokoknya kuliah'. Konon daripada menganggur di rumah, lebih baik kuliah. Sedang ditanya cita-cita setelah lulus saja mereka masih berpikir lama.Â
Andai suatu waktu, dosen di PTN/PTS terbaik mengajar mahasiswa seperti ini. Jika bisa membentuk mindset yang mungkin unggul. Maka itulah saya kira makna pendidikan. Lulusan bisa jadi setara dan layak untuk menghadapi dunia kerja. Pun mereka bisa siap membuat lingkup kerja sendiri. Dari kreativitas ilmu dan teknologi yang sudah dipelajari, saya yakin mereka mampu.
Membicarakan pendidikan adalah membicarakan celanya. Karena yang menilai pendidikan kita maju dan berarti adalah generasi nanti. Bisa 5 sampai 10 tahun dari sekarang. Namun, saat cela pendidikan terus direvitalisasi dengan placebo berupa proyek tak visioner. Maka jangan banyak berharap pendidikan bisa dipandang unggulnya.
Referensi: bps.go.id | katadata.co.id | pikiran-rakyat.com | tirto.idÂ
Salam,
Solo, 17 Mei 2018
12:18 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H