Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Punya Gadget? Hati-hati "Phantom Vibration Syndrome"

6 Mei 2018   21:57 Diperbarui: 7 Mei 2018   06:45 2523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Men-setting notifikasi sosmed dengan mode gawai vibrate sudah umum kita lakukan. Gawai atau smartphone sering kita kantongi, taruh dalam tas, atau di genggam. Hal ini dilakukan agar kita tidak ketinggalan satu chat/like/komen pun di grup chat/sosmed.

Lalu ada getaran di kantong, kita langsung ambil smartphone.

Sepertinya ada getaran di tas, langsung ambil tablet dalam tas.

Rasanya ada getar like/komen di HP di genggaman, langsung swipe buka smartphone.

Tapi ternyata tidak ada getaran, notif like/komen/chat di gadget. Tapi perasaan tadi gadget kita bergetar.

Jika Anda sering mengalami "perasaan bergetar" ini. Jangan-jangan Phantom Vibration Syndrome (PVS) menghinggapi Anda. Apa itu PVS? Apakah penyebabnya? Apakah berbahaya PVS?

PVS adalah sindrom baru yang dialami manusia modern. Gejalanya adalah perasaan, sensasi, bahkan halusinasi jika ada getar notifikasi dari gadget. Namun ternyata getaran tadi bukanlah notifikasi dari gadget. Bisa jadi hanya gesekan kulit dengan kain kantong celana. Adapun getaran karena uang receh bergesek dengan smartphone di dalam tas. Atau, hanya kedutan di tangan sehingga berasa seperti getar notifikasi HP.

PVS sudah menjadi learned bodily habit atau kebiasaan tubuh yang dipelajari. Kebiasaan ini sejatinya sudah kita tahu. Contohnya kacamata yang kita pakai. Banyak orang yang merasa kacamata sudah menjadi bagian tubuh. Sehingga kadang lupa jika sedang memakai kacamata. Contoh lain, memakai jam tangan, memakai cincin pernikahan, atau mengaitkan kalung di leher. Jika kita melupakannya, maka ada yang "aneh" dengan diri kita.

Karena gadget kadang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari kita, PVS bisa terjadi. Sebuah riset pada mahasiswa di sebuah kampus di US menemukan fakta. Hampir 90% responden mengalami sensasi PVS ini. Menurut studi dari Nokia, rata-rata orang memeriksa smartphoneny setiap 6,5 menit setiap hari. Atau sekitar 150 kali saat seseorang terjaga.

Sebab terjadi PVS diduga karena tingkat kecemasan relatif tinggi karena teknologi. Kita menjadi tidak nyaman jika tidak update selfie di sosmed. Kita tidak bisa tenang kalau tidak ada chat di grup WhatsApp. Atau bahkan kita gugup karena tidak ada like/komen foto makanan kita di Instagram. 

Psikis kita dilatih untuk merespon getaran di gadget dengan segera. Karena ada reward saat kita tahu selfie ada yang me-like. Merasa bangga ada yang komen foto makanan di IG. Atau sekadar chat basa-basi di grup chat sudah merasa senang. Saraf kita seolah sudah dikonstruksi untuk merespon getaran gadget demi sebuah rekognisi atau penghargaan semu ala sosmed.

PVS tidak berbahaya selama masih ada kontrol diri. Sosmed yang menjadikan kita terkoneksi tidak selamanya komunikasi tulus dan jujur. Namun jika sudah membiasakan FoMo atau Fear of Missing Out, PVS menjadi berbahaya. FoMO merupakan kecemasan akan tertinggal trending, update, dan berita terbaru. Jika sensasi getaran ala PVS terjadi, riset membuktikan terjadi tingkat kecemasan yang tinggi.

Saat dulu komunikasi adalah berbicara tentang kita dan orang yang diajak berbicara. Sosmed kini mengubah arus komunikasi menjadi tentang saya. Pola komunikasi yang cenderung menjadikan kita cemas. Karena rekognisi di sosmed kadang lebih penting dari pribadi di dunia nyata. Karena cemooh di sosmed pun lebih membuat kalut daripada di dunia aslinya. 

Saat PVS sudah menjadi bagian dari diri kita, sudah patutnya kita mengontrol pola komunikasi ala sosmed. Mencoba mengurangi durasi ber-sosmed bisa dilakukan. Menahan diri selama beberapa jam tidak membuka tablet bisa jadi pilihan. Lakukan aktifitas favorit, seperti membaca buku, menulis diary, atau sekadar berkebun pun bisa jadi alternatif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun