Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tidak Ada yang Istimewa di Hardiknas Kali Ini, Kawan

1 Mei 2018   22:15 Diperbarui: 2 Mei 2018   20:20 2247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada yang istimewa di Hardiknas 2018 kali ini, kawan. Yang ramai masih soal May Day yang kemarin serentak dihelat. Beritanya menghiasi headline portal berita. Hiruk-pikuknya pun selalu menyedot jutaan mata, hati dan telinga. Sedang Hardiknas keesokan harinya akan biasa-biasa saja kawan. 

Media tidak begitu gempita dengan Hardiknas. Karena kalau menyoal pendidikan kita, selalu saja disorot negatifnya. Tidak ada banyak kemajuan yang bisa kamu rasa sampai ngebul dapur para guru. Karena guru masih banyak yang nerimo akan nasib mereka. Digaji seikhlasnya pun banyak yang menerima dengan kepala tertunduk.

Kamu tahu mengapa kawan? Karena guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Karena sudah dilabeli pahlawan, maka martabatnya tinggi. Berbeda dengan buruh yang terus menuntut upahnya naik dan dipenuhi. Guru tanpa perlu banyak menuntut juga akan dipenuhi inginnya. Pertama ditampung semua aspirasi guru untuk naik pangkat. Setelah banyak, lalu dipetisikan. Jika ada tuntutan lagi, alasan berganti menteri dan aturan pun di kalangan para amtenar pendidikan kita kawan.

Di tahun 2018 ini pun, nasib pendidikan kita masih penuh tambalan kawan. Mencoba meraba apa yang bisa dibuat rezim Mendikbud baru dalam memperbaiki pendidikan. Namun yang terjadi, status quo tetap terjadi. Gaji guru masih disunat "administrasi". Proyek bangun sekolah masih banyak diakali. Program menteri pendidik hanya datang dan pergi. Siswa malah kini dibebani ujian tingkat dewa kawan.

Pendidikan adalah life long learning kawan, betul. Pendidikan dampaknya longitudinal kawan, betul. Tetapi tampaknya perbaikan ke arah pendidikan baik kita di atas kertas semata. Para pemikir pendidikan kita hebat kawan. Kamu tahu itu. Tapi tidak pernah bisa mengonstruksi karakter bangsa. Pun memfasilitasi pembelajaran karakter bangsa ini kawan.

Kurikulum hanya menjadi produk menghabiskan anggaran kawan. Karena kalau 20% anggaran dari APBN tidak habis, pak menterinya dianggap tidak bekerja kawan. Dalam setengah periode jabatannya, begitu banyak yang dikerjakan. Dan dalam banyaknya kerjaan, beliau mengiyakan proyek yang disodorkan. Dampaknya kawan? Setidaknya dapur rumah pak guru masih belum ngebul sekali.

Pak guru masih mengendarai Astrea Grand-nya menuju sekolah kawan. Sedang muridnya yang SMA sudah menggeber Ninja, mengasapi si guru. Karena saat kebutuhan sehari-hari sudah semahal motor Ninja itu. Pendapatan guru tadi masih selevel Astrea Grand kawan. Persis serupa lambatnya pendidikan kita untuk maju kawan.

Karena bisa apa guru yang masih serupa buruh. Tapi tanpa dilabeli buruh tentunya. karena kalau menjadi "buruh guru". Maka apa beda dengan "buruh pelabuhan" atau "buruh tani" kawan? Apa yang mata mungkin tidak kita lihat. Tapi dalam hal nasib, mungkin guru dan mereka tidak jauh beda.

Ah, sudahlah menyoroti buruknya dunia pendidikan kita kawan. Pasti ada yang lebih baik dari hari kemarin pada pendidikan kita. Kita sudah punya ujian berbasis komputer. Tak lupa juga sertifikasi guru yang kian dikebut. Atau wacana pengangkatan guru honorer. Sekolah-sekolah di daerah pun sudah cukup banyak dibangun dan diperbaiki.

Pendidikan sejatinya adalah fondasi dasar generasi. Kian tahun sewajarnya semakin kuat dan kokoh. Karena kekurangan sistem menteri tahun lalu bisa diperbaiki. Dengan ratusan triliun dana digelontorkan, kemajuan menjadi keniscayaan.

Tetapi, fondasi pendidikan bangsa masih jadi bahan uji coba. Berganti tahun, tak ayal sistemnya diganti sesuka rezim menteri. Bukan melihat ke negeri sendiri untuk karakter generasi. Tapi banyak mendongak ke bangsa asing yang berbeda prinsip hidup. Bertriliun anggaran, hanya menyoal membagi-bagi posnya. Kemajuan adalah distopia tiap Hardiknas.

Salam,

Solo, 1 Mei 2018
10:22 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun