Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Cebong Bermicin dan "Cultivation Theory"

24 April 2018   22:42 Diperbarui: 25 April 2018   08:29 2761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hate Speech Bullets - ilustrasi: betanews.com

Tanya pada netizen, pasti pernah baca umpatan cebong atau micin. Baik pada posting atau kolom komentar, euforia cercaan menjadi kesan yang ditangkap. Ada kebebasan yang tiada batas dengan labelisasi ala netizen ini. Belum lagi label-label sarkas lain berbau SARA seperti kafir, china, asing-aseng atau yang terbaru setan vs tuhan. Ideologi partisan mendompleng linimasa dengan propaganda kebencian. Dari public figures sampai orang biasa bisa seenaknya nyinyir negatif.

Hate speech seperti ini bisa tercipta dari anonimitas, disasosiasi dan buta literasi digital. Memang, anonimitas atau akun samaran difasilitasi dengan baik di sosial media. Seorang pendiam di dunia nyata bisa sang paling vokal di diskusi suatu situs forum. Mencerca pun menjadi hal biasa di akun sosmed, sedang aslinya seseorang sangat sopan. Jika akun lain terganggu atau tersinggung cukup lapor admin/moderator situs. Akun anonim pun diblokir. Tapi, beberapa menit kemudian membuat akun anonim baru.

Diasosiasi membuat jurang jarak dan waktu antar users internet. Karena users cukup menggunakan teks dan suara untuk berkomunikasi, ada rasa 'aman' yang timbul. Jika seseorang mengumpat secara langsung di depan orang lain, konsekuensi jelas. Orang yang mengumpat langsung kena hantam atau diumpat balik. Sedang satu akun di internet bisa berkata kasar di kolom orang lain. Karena perbedaan spasiotemporal, konsekuensi fisik akibat mengumpat hampir tidak ada. Sebuah akun dianggap tidak sepenuhnya manusia holistik, tetapi sekadar akun belaka.

Buta literasi digital pun menjadi faktor bebasnya mengumpat di internet. Tidak pahamnya UU ITE menjadi orang bebas. Apalagi tidak adanya pembelajaran literasi digital. Walau sudah banyak penebar ucapan kebencian berhadapan dengan hukum. 

Seolah tiada jera dan habis ujuran kebencian. Kembali lagi, anonimitas dan diasosiasi menjadi cara mengakali hukum yang ada. Tentunya, aparat yang memantau 24/7 kewalahan menyaring arus informasi di dunia nyata. Apalagi tidak adanya pembelajaran literasi digital di sekolah. Mau jadi apa generasi digital di Indonesia nanti?

Selain faktor-faktor di atas, ada prekursor yang membentuk perilaku hate speech partisan di atas. Adalah Cultivation Theory (CT) yang membentuk fenomena ujaran kebencian. CT pertama kali dicetuskan dalam ranah komunikasi media oleh Gerbner dan Cross (1976). Menurut CT, perilaku seseorang akan dipengaruhi apa yang ditonton. Acara televisi homogen dan disaksikan dalam waktu lama, berpengaruh kepada persepsi penontonnya. 

Kebanyakan gejala yang muncul adalah ketakutan, kecemasan dan pikiran negatif akibat acara bermuatan kekerasan. Gejala ini juga dijuluki Mean World Syndrome (MWS). Kecenderungan mempersepsikan dunia nyata menjadi kejam dan menakutkan pun timbul dari MWS. Karena tontonan negatif, MWS menjadikan sterotipe semakin mudah.

Apalagi saat internet menjadi ajang propaganda politis segelintir orang atau golongan. Bisa jadi persepsi MWS mereka timbul akibat dibentuk filter bubble ala sosmed. Kecenderungan berfikiran buruk pada pemerintah sah, membuat persepsi paranoid. Bahkan ada politisi yang mengabarkan Indonesia bubar di tahun 2030. Atau politisi yang mendikotomi parpol ala partai setan vs tuhan. Bukankah ini ketakutan yang dibalut orasi politik nyinyir?

Dampaknya, ketakutan homogen yang tercipta di kalangan kontra semakin memanas. Dunia sosmed terpecah menjadi dua kubu yang 'siap berperang'. Mencari kesalahan lalu membalut dengan hate speech pun disebarkan seenaknya. Belum lagi hoaks ala partisan yang kini semakin memanas di sosmed. Publik mungkin api permusuhannya lebih bergelora daripada orang-orang di atas sana.

Hate speech pun bertebaran di linimasa. Berlindung di balik anonimitas, diasosiasi, dengan mengakali UU ITE, akun liar partisan menyulut permusuhan. Orang yang tadinya santai dan sabar membalas komentar, bisa saja tersulut. Saat satu pihak mencaci bebas, tak ayal di pihak lain juga hanyut. Karena kadang kebebalan membuyarkan logika pihak-pihak yang terlibat.

Bijak-bijaklah ber-internet.

Salam,

Solo, 24 April 2018

10:50 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun