Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sembilan Tahun Saya dengan Facebook, antara Dulu dan Sekarang

16 Maret 2018   15:45 Diperbarui: 16 Maret 2018   15:53 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Facebook logo - ilustrasi: brandmags.com

Sebelumnya, terima kasih kepada Facebook (FB) sudah mengingatkan Faceversary saya. Tepat tanggal 16 Maret 2009 saya membuat akun di FB. Seumpama anak, usia 9 tahun masih bandel-bandelnya. Masih suka bermain dan tak berfikir apa itu hoaks, distopia teknologi, apalagi politik. Pokoknya senang-senang saja.

Dan begitupun sejatinya akun yang dibuat di FB. Dulu, sebuah akun FB berarti menyambung friendship. Dengan interface yang lebih baik dan user-friendly dari Friendster, FB adalah media persahabatan. Unggah satu kata atau satu kalimat, maka bejibun komentar teman-teman. Dahulu mencari teman di FB menjadi kebangaan tersendiri. Semakin banyak teman, semakin bisa jumawa. Dan saya yakin, jika akun orang-orang dahulu lebih asli dan genuine.

Platform sosial media, seperti FB, setidaknya lebih 'organik'. Komunikasi yang hadir seperti merefleksikan interaksi sosial. Dengan medium dunia maya, kita mencoba merajut komunikasi. Zuckerberg yang dianggap introvert bisa bermetamorfosis menjadi ekstrovert dengan FB.

Cita-citanya menyatukan para alumni tempatnya kuliah mendatangkan kemanfaatan untuk khalayak. Dicetuskannya FB tahun 2008, tidak hanya menyatukan para alumni, tapi juga seluruh dunia. Kini, FB sudah menjadi sang behemoth platform sosmed. 

Dulu, tak banyak berita hoaks yang viral. Tidak nampak dengan nyata isu SARA yang dibawa. Karena FB adalah dimensi euphoria dunia siber. FB menjadi wadah untuk saling berdiskusi tanpa harus berdebat kusir. Apa yang ramai di FB tak perlu didiseminasi menjadi aksi demo atau persekusi. FB tetap FB tanpa embel-embel politik, agama, dan ideologi.

Teman tetaplah berteman tanpa dipisah agama, partai, pandangan politik bahkan aliran-aliran. Yang muncul di linimasa saya dulu adalah teman bukan iklan, apalagi berita tanpa kejelasan.

Sekarang, sebuah akun FB tak lebih dari fungsinya untuk connectivity. Facebook yang kini adalah versi subversif Google dengan sisipan filter bubble, iklan, viralitas, juga hoaks. Semua orang bisa memiliki lebih dari satu akun, bahkan ribuan. Komersialisasi kerumunan (buzzing) dan menggoreng berita hoaks atau nyata (virality) menjadi umum. FB makin ramai dengan polarisasi ideologi, golongan, dan agama. Apalagi deretan iklan yang bersliweran di linimasa yang menjadi polusi fikiran yang begitu subtle. 

Para penikmat FB kini, katanya, orang-orang tua. Berkat FB pun kini banyak orang jadi 'pintar'. Linimasa mereka penuh dengan berita yang sama, serupa, dan sesuai minat. Faktanya FB kini menjadi penyumbang besar arus berita di internet. Namun yang saya tahu, banyak berita yang kadang rekayasa belaka. Dengan judul bombastis, menyudutkan, dan timpang. Posting seperti ini dihiasi banyak sekali like, komen dan share. Hebat menurut saya. Tapi apa benar ribuan akun ini asli atau hanya sekadar kerumunan buzzers?

Mudahnya kini akun FB mencap orang kecebong, buzzer, bahkan kafir. Diskusi di kolom komentar berisi sumpah serapah ala kebun binatang. Banyak yang begitu mudah memuntahkan kata sekena mulutnya. Entah akun-akun ini dimiliki orang/oknum/kelompok yang sama. Tapi mau tak mau banyak juga teman-teman FB saya yang asli terhanyut dalam lingkaran setan ini. Seperti modus penjual obat yang berteriak mengatakan obatnya mujarab. Lalu rekan-rekannya berpura-pura membeli. Sehingga, yang lainnya pun tergoda untuk membeli.

Ah, mungkin ini hanya romansa tak realistis saya pribadi. Karena faktanya, FB pun meraup milyaran dollar dari akun yang kita buat. Terserah users FB mau dijadikan apa FB. Bagi beberapa orang, wajar saja mencari untung di FB, seperti membuka toko online. Namun di sisi lain, ada orang yang mau membayar untuk berita hoaks, cyberbully atau sekadar mencari followers. Walau, memang ada genuine relationship di FB. Teman dan rekan yang memang mengapresiasi, berinteraksi, dan memberi manfaat. Orang-orang yang faham FB bukan sekadar media menyebar kebencian tapi mempererat pertemanan.

Artikel saya tentang Facebook:

Salam,

Solo, 16 Maret 2018

03:43 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun