Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

"The Elephant in The Room" dan Media Sosial Kita

4 Oktober 2017   09:23 Diperbarui: 10 Juni 2021   07:04 3879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Elephant in The Room - ilustrasi: tswails.com

"How's your day went?"

Sebuah kalimat pembuka ketika melihat beranda Facebook. Sebuah 'obrolan' ilusif antar mesin dan manusia. Sebuah rancangan simulatif artificial intelligence pada algoritma sosial media. Semua demi satu tujuan, tercipta nuansa sosial di layar gadget kita. Masuk ke dunia yang riuh dengan obrolan berupa komentar dan like. Semu.

Bagai sebuah psyche katarsis manusia milenial, sosmed adalah ajang segalanya. Euforia yang dibuat dengan filter, momen tepat, sensasi, dan isu yang kadang begitu sensitif. 

Pada media yang penuh dengan fidelity, banyak yang bersembunyi dibalik senyum palsu foto profil. Dengan bahasa dan konten kopas dari berbagai sumber, banyak dari melihat keramaian yang begitu hakiki di medsos.

Belum lagi di dunia instant messaging. Saya kira kaum milenial sudah tidak perlu lagi nada dering. Karena toh smartphone mereka akan selalu berbunyi. Entah itu pesan WA, like dari FB, heart dari IG, RT dari Twitter, chat group di WA/Telegram/BBM, dll. 

Dulu, ada pesan masuk entah itu SMS biasa atau email akan begitu ditunggu dan didengar dengan baik. Berbeda dengan saat ini, cukup vibrate mode atau silent mode dan ditunggu 10-15 menit akan ada banyak notifikasi.

Benarkah dunia digital kita saat ini kita anggap ramai?

Bagai sebuah ilusi 'the elephant in the room', kita tahu gajah itu ada. Tetapi entah mengapa gajah itu tidak ada. Ia ilusi belaka. Tapi begitu terserap kita dengan ilusi ini. Sesampai, kita hidup bersama gajah tersebut. Atau kita sendiri menjadi gajah itu?

Kesepian yang sejatinya banyak generasi milenial rasakan. Dengan gadget yang selalu terhubung, ada ilusi keramaian yang banal. Beberapa orang begitu terbawa dan hanyut dalam dunia sosial. Hingga muncul istilah social phobia (Bern, et.al: 2001), social anxiety (Chaplan: 2007) dan Facebook depression (O'Keefee & Pearson 2011). Gangguan psikis yang sepertinya mulai menggejala.

Apakah interaksi di dunia maya nyata? Mungkin banyak yang tidak setuju. Namun tetap saja, kita semua akan kembali ke dunia maya untuk segalanya. Mulai dari mencari tempat makan dengan foto-foto makanan yang 'dilihat enak'. Sampai berkencan dengan seseorang yang foto profilnya ternyata bertolak belakang dengan wajah aslinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun