Tulisan ini bukan menjadi media mengeluh. Tidak. Namun, tulisan ini adalah semiotika dalam dinamika penerima beasiswa luar negri. Semiotika yang saya maksud adalah dinamika tanda-petanda yang muncul saat tahu seseorang mendapat beasiswa. Dalam bahasa axioma Jawa mungkin adalah wang sinawang. Axioma ini contohnya orang melihat hidup enak selebriti. Tapi apa yang dirasa selebriti tadi mungkin tidak seenak apa yang dilihat orang lain.
Pertama, berkesempatan sekolah diluar negri dibayari adalah segalanya. Bagi saya pribadi dan banyak orang, hal ini benar adanya. Sekolah dengan tanpa biaya pribadi diingini semua orang. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak semua orang berhak dan layak untuk beasiswa. Ada proses administrasi, birokrasi, akademis, dll untuk menraihnya. Proses seleksi ini memang tidak semua orang bisa memenuhinya. Oleh sebab itu, hanya sedikit orang yang mendapat beasiswa.
Dan menjadi sebagian orang itu ada suka duka yang dirasa. Bagi beberapa orang, mungkin mereka faham. Bagi sebagian, terutama yang gagal mendapat beasiswa ada dua asumsi. Yang pertama adalah iri karena tidak mendapat beasiswa. Yang kedua adalah tantangan karena kegagalan adalah sukses yang tertunda. Dan bagi banyak orang, pada proses belajar para penerima beasiswa, kadang tidak dihiraukan.
Padahal bagi penerima beasiswa, proses belajarnya memang yang kadang ditempuh susah payah. Walau mindset awal mereka sudah siap dan sedia menempuh studi. Namun banyak hal-hal yang membuat mereka menyerah. Baik secara administratif, akademis, kultural, ekonomi bahkan kesehatan. Aspek-aspek ini yang kadang banyak orang tidak tahu. Namun beberapa orang yang memantau lewat sosmed para penerima beasiswa bisa saja tahu dan perduli.
Dan kadang, bagi yang perduli hanya yang sensasional saja yang disorot. Mulai dari penerima beasiswa yang menghamburkan uang rakyat, mereka sering plesiran, atau tidak banyak karyanya kepada negara. Jika benar setitik nila merusak susu sebelanga, maka sensasi ini yang kadang mengubah persepsi kita. Dan begitulah gosip, berita demi klik dan visit, dsb. Walau persepsi ini kadang kebenarannya begitu kasusistik dan relatif.
Kedua, belajar di negara orang lain adalah hal yang membanggakan. Dan benar adanya istilah 'menuntut ilmu'. Karena ilmu serupa tataran langit. Saat kita merasa sudah di atas langit, masih ada langit lain di atas kita. Bagi penerima mahasiswa belajar di negri asing bisa menjadi hal yang holistik. Karena belajar di negri orang tidak sekadar secara formal. Dari mulai makanan sampai tata kelola sebuah kota bisa kita pelajari. Walau sekadarnya, pasti ada harapan di tiap hati penerima beasiswa supaya negara sendiri makmur seperti negara yang dikunjungi.Â
Mungkin banyak yang mengira hidup di negri asing enak. Apalagi mendapat beasiswa. Namun juga banyak yang tidak merasakan culture shock, homesick, atau masalah lain. Juga harapannya, tidak ingin di negri orang mendapat masalah apapun. Karena tentunya aturan, hukum, norma dan birokrasinya berbeda. Dan tentu tidak ingin menemui kesulitan di negri orang. Hal-hal yang sering tidak begitu disorot oleh banyak orang. Hanya para penerima beasiswa yang menghadapinya dari hari ke hari sampai ia kembali ke negri sendiri.
Hanya dengan koordinasi dan informasi dari sesama penerima beasiswa yang bisa membantu kita. Dengan komunikasi dan guyub rukun, semua menjadi jalan mencari solusi. Karena hanya dengan bahasa, pengalaman, dan perasaan yang sama seseorang bisa bertahan di negara asing. Walau tak bisa diingkari belajar dari orang asing juga menjadi hal penunjang survival. Dan semua aspek ini dipelajari dan diintegrasi agar kehidupan para penerima beasiswa bisa sukses sampai akhir.
Ketiga, tentunya adalah tanggung jawab dan hasil dari studi kita untuk negri. Bagi banyak orang akan menanti prestasi, penghargaan, kontribusi, atau karya para penerima beasiswa ini. Dan sungguh, saya yakin hal-hal ini yang ingin penerima beasiswa beri untuk negri. Walau pada saat membangun karya, prestasi atau kontribusi banyak hambatan dan tantangan. Hati nurani penerima beasiswa tentu tidak bisa mengingkari balas budi yang harus diberi untuk negri.
Mungkin tidak sebesar prestasi yang disorot media. Mungkin juga tidak semutakhir pesawat karya Habibie. Tapi hal-hal kecil yang penerima beasiswa bangun dan sumbang dari apa yang mereka bisa. Masyarakat negara ini mungkin tidak meilhat dan merasakannya. Tapi bagaimana dengan orang sekitar penerima beasiswa. Karyanya dalam mengajar, meneliti, dan menulis bisa orang sekitar mereka rasakan. Lama dan menjemukan mungkin hasil besar bisa tercapai. Tapi investasi pada pendidikan dan SDM tidak akan pernah lekang oleh waktu. Dan untuk menuju negara yang lebih baik, semua harus bisa bekerja sama.
Penerima beasiswa luar negri tidak bisa bekerja dan berkarya sendiri. Saat sistem dan mindset masih dikuasai pola mencari enak sendiri. Maka nisbi ditemui masa depan bangsa yang baik. Pengorbanan tenaga, waktu, dan fikiran penerima beasiswa tentu tak lain buat negri sendiri. Karena negaralah yang membuat mimpi-mimpi studi mereka jadi nyata. Tak mungkin mereka mengecewakan negara sendiri. Dan hanya dengan koordinasi dan sinergi dari sesama penerima beasiswa, kebaikan negri bisa dicapai nanti.