Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memahami Kolektivisme & Teretorialisme di Konflik Transportasi Konvensional-Online

23 Maret 2017   19:34 Diperbarui: 28 Mei 2019   15:15 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Collectivism - ilustrasi: necessaryandpropergovt.wordpress.com

Sepertinya 'perang' antar moda transportasi online dan konvensional urung selesai. Tahun lalu saya membahas gesekan taksi konvensional dan online disini. Namun, sepertinya belum ada respons dan solusi serius dari pihak terkait menyoal ini. Apa yang terjadi di masyarakat adalah kolektivisme sopir angkot yang salah tempat. Ditambah mental pejabat yang sudah lama dipraktikkan mereka. Menjadikan ojek online pilihan kaum milenial, dan akhirnya non-milenial. 

Berbondong-bondong sopir taksi/angkot/ojek kini cenderung menyelesaikan dengan caranya sendiri. Banyak diberitakan soal aksi anarkis baik sopir taksi/angkot/ojek yang cenderung mengerikan bagi pengguna jasa. Saya mengerti ada kumulasi kecemasan dari penyedia jasa transportasi konvensional. Saat motif pengguna jasa mereka dengan menyetop di pinggir jalan tergantikan dengan fungsi real time aplikasi, wajar sopir taksi/angkot/ojek resah. 

Saat orang sudah jarang berdiri di pinggir jalan menyetop angkot. Atau pangkalan ojek sepi dari orang yang datang mengunjungi. Karena semua ini digantikan dengan sebuah klik aplikasi plus dijemput di lokasi. Lambat laun dapur penghidupan di rumah mereka tentu jarang ngebul. Namun, adakah pembenaran jika aksi main atur sendiri dengan 'mengusir/merusak' lahan hidup sopir ojek/mobil online? Adakah penengah (pihak terkait) yang sungguh-sungguh mencari solusi untuk gesekan ini?

Kolektivisme macam nggrudug pengemudi moda transportasi online menjadi kian sering. Hal yang sebenarnya juga merugikan pengguna jasa mereka. Saat kedua pihak berseteru ini saling mogok atau bahkan bentrok, pengguna jasa pun akhirnya akan terbengkalai dalam mobilitas mereka. 

Yang terjadi pun (sejak lama) pengguna jasa memilih kendaraan pribadi baik motor ataupun mobil. Ditambah produsen dan dealer kendaraan menawarkan mobil/motor mereka dengan gencar. Kadang pun dengan diskon dan cicilan yang 'super murah'.

Sejak dahulu pula, sopir moda transportasi konvensional merasa dirinya menjadi 'pejabat'. Hal yang salah kaprah ini mengingkari axioma 'pembeli adalah raja'. Bagaimana sopir angkot bebas berhenti atau ngetem semaunya. 

Atau tak sering meminta penumpang turun karena setoran sudah cukup, penumpang sedikit, dan alasan lainnya. Seolah karena penumpang butuh mereka, sopir angkot kadang berbuat sebagai pejabat. Angkot mereka ya aturannya menurut sopirnya. Sifat teretorial seolah berkuasa pada satu entitas pun muncul dan kadang dijaga sedemikian.

Atau pengemudi ojek konvensional yang tak banyak getok harga semaunya. Penumpang tahu ada ketidakpastian ongkos saat naik ojek. Dan sebagai penumpang pun kadang tidak tahu arah atau tujuan. Yang terjadi adalah harga yang ternyata tidak sesuai 'konvensi standar' yang baik penumpang/pengojek pahami. Walau kadang ada tawar-menawar harga. 

Namun, ada saja cara pengemudi ojek untuk menambah 'argo'. Bisa dengan memutar-mutar mencari alamat. Padahal dekat dan pengemudi ojek tahu hal ini. Atau dengan dalih macet/hujan, dll yang kadang sebagai pengguna jasa menggunakan teknik 'ya sudahlah' demi mencegah konflik.

Berbeda dengan moda transportasi online yang benar-benar menjadikan pengguna adalah 'raja'. Pengguna diberi kemudahan untuk mengeklik dari smartphone mereka. Hal ini bisa dilakukan di mana pun mereka berada. Penumpang pun dijemput di lokasi. 

Tidak perlu lagi mengayunkan tangan di pinggir jalan atau menuju pangakalan. Harga jasa pun diukur dari jarak lokasi ke tempat tujuan. Walau hal ini merupakan hitungan vendor penyedia jasa transportasi online. Namun, hal ini dianggap wajar. Apalagi saat dibandingkan harganya dengan moda konvensional. Kadang ada perbedaan sekian rupiah yang signifikan.

Kepastian pula yang menjadikan pengguna 'raja', yaitu kepastian mencapai lokasi dan arah menuju lokasi. Pengguna langsung disajikan peta dan arah utama/alternatif menuju lokasi di smartphone mereka. Saat di kendaraan pun kita bisa mengecek apakah sopir moda online ini menuju arah yang benar. 

Ditambah tombol laporan dan rangking bagi pengemudi moda online yang baik atau berbuat jahat bisa dilaporkan. Vendor penyedia moda online pun pasti akan tahu di mana dan ke mana driver-nya dengan melacak GPS di smartphone driver mereka.

Hal-hal inilah yang menjadikan moda online di Indonesia bisa sangat menjanjikan kepastian dan keamanan. Lain halnya yang saya alami di Australia. Moda transportasi konvensonal bisa diandalkan. Bus datang sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Ongkos yang dikeluarkan pun jelas. Tidak perlu lagi bayar tunai karena menggunakan kartu. Semua bus pun bagus dan laik, baik bagi pengguna biasa maupun dengan disabilitas. Taksi konvensional ataupun online bisa menjadi pilihan. 

Sudah saatnya moda transportasi konvensional berbenah. Jangan cuma marah-marah dan merugikan baik sopir dan penumpang dengan aksi anarkis. Moda online akan tetap menjadi pilihan penumpang saat kemudahan, kepastian dan keamanan terjamin. 

Baik dengan sembunyi maupun tidak, pengemudi moda online pun mencoba mengais rezeki untuk kebutuhan hidup. Balik saja keadaannya kalau pengemudi moda konvensional adalah pengemudi moda online, atau sebaliknya.

Sekarang tinggal bagaimana pihak terkait seperti organda, pemilik jasa angkot, pemerintah daerah dan pihak kepolisian mencarikan solusi. Saya kira sudah cukup banyak orang-orang ahli transportasi bisa membuat regulasi. Ataupun mengundang investor yang siap mengembangkan moda transportasi konvensional menjadi lebih baik. 

Penumpang akan tetap memilih angkot/ojek seperti biasanya. Namun, saat dihadapkan pilihan lebih baik, sewajarnya yang sudah lebih dahulu bisa instrospeksi dan berbenah.

Atau mungkin saja sifat kolektivisme dan teretorial merupakan sifat dasar manusia. Ada wacana xenofobia atau ketakutan atas orang asing atau sesuatu yang baru sepertinya tetap menjadi sifat primal kita sebagai manusia. Namun, pastinya kita memiliki hati nurani dan kebijakan untuk menuntaskan konflik yang terjadi.

 Salam,

Wollongong, 23 Maret 2017

11:34 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun