Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apa Kamu Termasuk Digital Natives?

23 November 2016   09:12 Diperbarui: 23 November 2016   11:00 1152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teknologi sudah menjadi hal yang tidak asing lagi saat ini. Hampir tiap sudut mata memandang, ada saja yang terkait teknologi. Mulai dari jam tangan yang kini menjadi wearable untuk fitness, sampai sensor hair dryer di mall kini sudah disematkan teknologi. Teknologi sudah menjadi sebuah artefak peradaban kita di abad 21. Artinya teknologi bukan sekadar instrumen pemudah kehidupan. Namun kini bagian yang tidak lepas dari tiap sendi kehidupan. (Selangkapnya baca artikel saya Sosial Mediamu Bukan Kalkulator Kawan)

Tentunya, hidup di era internet, gadget, dan IoT (Internet of Things) tidak mudah. Terutama bagi mereka yang masuk ke dalam generasi V, W, dan X. Pada generasi ini, teknologi lebih kepada pemenuhan ranah industri dan post-war. Generasi V, W, dan X ini sudah cukup sepuh jika dibandingkan generasi Y dan Z. Generasi Y adalah para akademisi dan developer pada awal upsurge teknologi. Teknologi belum banyak menjadi konsumsi masa karena mahal dan terbatas. Sedang pada generasi Z, teknologi hadir bahkan saat mereka masih kecil. (Baca artikel saya: Literasi Digital yang Sebaiknya Kita Pahami)

Dan kesulitan bagi generasi V dan W tentunya adalah beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang ada. Mungkin istilah gaptek (gagap teknologi) bagi generasi W dan X dianggap maklum. Karena berkutat dengan gadget, internet atau smartphone membuat mereka pusing. Mereka lebih memilih menghabiskan waktu berkebun, bercengkrama dengan anak cucu, atau jalan-jalan di hari tua. Belajar smartphone pun mungkin minta diajarkan anak atau cucu mereka.

Tabel Digital Native - diadaptasi dari Kinash, Wood dan Knight 2013
Tabel Digital Native - diadaptasi dari Kinash, Wood dan Knight 2013
Generasi X bisa kita sebut sebagai digital immigrant. Generasi ini mencoba beradaptasi dengan kesulitan dalam ber-teknologi. Ada kecemasan atas kemampuan diri mereka sendiri menguasai teknologi. Istilah digital immigrant sendiri dikoinkan oleh Prenzy seorang pengajar dan desainer educational game di tahun 2001. Menurutnya, digital immigrant biasanya condong membaca segala sesuatu sebelum meng-Google sesuatu. 

Nah, jika diukur dengan usia maka saya adalah Generasi Y. Dimana saya melihat teknologi dulu mahal dan terbatas. Tidak banyak orang memiliki HP. Dulu harga HP Nokia 3315 saja bisa jutaan. Dan sejak saat itupun, pola SMS menjadi periode revolusi bergadget. Lalu muncul internet dengan moda dial yang koneksinya sangat lama dan terbatas. Chat bergaya WhatsApp dulu hanya bisa dilakukan dengan Yahoo Messanger dan Mig33. Faktanya saat ini, bahkan anak saya pun tahu namanya BBM dan Video Call dengan Google Hangout.

Akhirnya, bagi generasi Z teknologi sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Jauh sebelum mereka lahir pun, kadang orang tua mereka (Gen Y) sudah membuat akun sosmed buat calon anak mereka. Mulai dari anak mereka di dalam perut sampai saat lahir, dokumentasi digital sudah dikumpulkan. Mulai dari foto, video, vine, timelapse video, dll sudah dilakukan. Jejak digital anak mereka pun sudah bisa jadi sudah bisa di-Google. Dan sebagai orangtua, sebaiknya kita pahami cara mengenalkan gadget pada anak.

Generasi Z merupakan digital native dari teknologi. Seperti ilustrasi saya diatas Gen Z sudah diekspos dan terekspos teknologi sejak mereka dibuaian. Mereka cepat beradaptasi dengan teknologi. Mereka bisa belajar dari teman permainan, di sekolah dan orang terdekat. Namun bukan berarti mereka bisa lebih 'hebat' dari generasi sebelumnya. Sebuah studi dari Stanford University menemukan bahwa kebanyakan siswa mudah tertipu berita hoax. Dari studi yang melibat 7.804 siswa dari sekolah menengah sampai kuliah di US ini, 2/3 dari mereka tidak faham email spam. 

Dan eses negatif dari internet di Indonesia sendiri sudah kian genting. Dari mulai cyber bullying, phising, spamming, fat-shamming, hoax dll begitu sering terjadi. Ada baiknya pemahaman literasi digital yang mencakup pemahaman digital native dan immigrant ini. Setelah wacana pemahaman, tentunya edukasi menjadi kian penting. Literasi digital yang membahas hal ini perlu banyak diketengahkan. Saya akan coba bahas literasi digital dan semua aspeknya di lain artikel.

Referensi:  engadget.com | Kinash, Wood dan Knight 2013 | Prensky 2001 

Salam,

Wollongong, 23 November 2016

01:12 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun