Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memosisikan Literasi Digital dalam Isu Ahok

9 November 2016   14:00 Diperbarui: 9 November 2016   14:41 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Internet Control - ilustrasi: truedemocracyparty.net

Ada sebuah hal yang bisa saya posisikan dari isu Ahok ini. Bukan lagi membahas framework sosio-politiknya, namun dalam literasi digital. Sebuah ranah yang saya kira akan menjadi wacana yang krusial dalam pendidikan nantinya. Namun, saya coba memposisikan literasi digital ini dalam kasus Ahok yang menjadi polemik.

Sebelum lebih jauh mengenal literasi digital, tulisan saya Literasi Digital yang Sebaiknya Kita Fahami.

Saat isu Ahok menjadi kian kusut, ada hal yang sebenarnya bisa membuat ini semua tidak terjadi. Demonstrasi berakhir rusuh, ada praduga oknum yang meunggangi, dan persepsi lindung-melindungi, ada baiknya tidak terjadi. Dan jauh sebelum peristiwa ini terjadi, seharusnya ada filter yang menyaring informasi yang salah, dideviasi, atau sengaja direkayasa. Dan filter ini menjadi bagian dari ranah literasi digital.

Khususnya dalam topik literasi kritikal, isu berita hoax, website penebar kebencian,  atau berita yang diplintir menjadi fokus. Dalam literasi kritikal, kita semua menjadi kritikus atas teknologi. Dalam literasi kritikal ini terdapat wacana kultur, politik dan isu populer. Wacana ini akan begitu dekat dengan kita sebagai users dari teknologi yang ada. Baik komputer, internet, dan segala peralatan periferalnya. 

Secara faktual, teknologi yang disalahgunakan merugikan kita tentunya. Wacana dalam literasi kritikal akan begitu bersinggungan dengan wacana lain. Ada sebuah meta-discourse atau meta-wacana dari sekadar yang nampak di permukaan. James Gee, seorang sosiolinguis menjabarkan bahwasanya ada meta-discourse yang memiliki kekuatan. Meta-discourse ini memiliki ideologinya sendiri yang berasal dari individu yang mencetuskannya. Dampaknya, individu tersebut bisa mendistorsi dan memanipulasi, ideologi tersebut. Bahkan saat ideologi ini terus berkembang.

Dalam teknologi komputer, internet atau literasi digital dalam hal ini, hal diatas menjadi fenomena sehari-hari. Pemegang informasi asli bisa mendistorsi dan memanipulasinya. Menurut Selber, hal ini disebut antisiginifikasi. Tidak serupa buku yang bersifat statis, linear, hirarkis, berfokus pada penulis, dan dialogik. Teks di dalam dunia web atau komputer (hypertext) bersifat dinamis, non-linear, non-hirarkis, berfokus pada pembaca, dan polilogik. 

Dan dalam kasus Ahok jika menariknya dari portal berita pun penuh deviasi atau aksi culas. Banyak informasi yang didistorsi dan dimanipulasi atas dasar kepentingan dan ideologi tertentu. Pfaffenberger menyebut hal ini sebagai segregasi dalam strategi regulalisasi. Saat akses dan kemanfaatan dalam teknologi terbuka untuk semua . Namun pada dalam konteks sosial (dan kekuasaan) informasi sejatinya mahal dan sulit diakses sehingga hanya beberapa saja yang 'menikmatinya'. 

Dan yang paling penting dalam fokus literasi kritikal adanya pernyataan Rob Kling. Interaksi dalam dunia komputer merupakan objek sosial yang kompleks. Arsitektur dan penggunaanya dibentuk oleh relasi sosial dari orang-orang berpengaruh. Disokong oleh infrastruktur yang baik. Dan dibentuk oleh perjalanan panjang sebuah komitmen. 

Komputer, internet dan segala produk luarannya menjadi sebuah sosial artefak. Komputer bukan lagi sebuah instrumen yang secara fungsi memberikan kemudahan dalam kalkulasi, pengolahan data dan komposisi, berinteraksi online, dll. Namun ia sudah menjadi bagian dari kultur, kekuasaan, dan isu populer.

Dan jika ditarik kembali ke kasus Ahok, semua menjadi kian terkait. Saat ada individu dengan kekuatan (kuasa dan uang) mendistorsi atau memanipulasi informasi, yang diterima secra percuma atau gratis ini menjadi viral. Sifat web yang polilogik membuat isu Ahok semakin dinamis dengan segregasi informasi yang terus diterima kita sebagai users. Karena tentunya dasar dari 'kenapa' isu ini menjadi viral begitu keruh dengan isu sosio-politik yang lain. Hanya oknum dibelakang isu ini yang memiliki akses tersebut.

Dan patut kita ingat, bahwasanya literasi kritikal ini menjadi isu penting dalam literasi digital. Sangat disayangkan jika isu seperti berita hoax, scam, cyber-bully atau isu SARA terjadi terus menerus. Perlu adanya penanggulangan dan antisipasi ke depan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun