Betapa masif pengerahan massa di demo menyoal isu Ahok yang dianggap melecehkan agama beberapa waktu lalu. Jika saja ayat yang menjadi isu diucapkan seorang penceramah dari agama yang sama, mungkin tidak akan menjadi polemik. Beda jika diucapkan oleh seorang Ahok. Anomali dalam riak 'keberhakan' menuturkan ayat tadi pun terjadi. Fenomena yang menarik jika ditarik ke dalam ranah yang tidak mainstream. Ranah yang mungkin tidak lebih 'sensitif' apalagi politis.
Dan saya tidak ingin mencoba mem-frame isu ini dalam frame sosial dan politik. Saya akan mencoba menatahnya dari sudut teori informasi Redundancy Reduction (RR). Isu Ahok yang diduga melecehkan ayat milik satu agama menjadi cocok dengan deviasi teori RR ini. Berikut penjelasannya.
Mari kita ambil contoh sehari-hari yang kita tahu:
Saat kita mengucap kata 'es' dalam kepala ada bentuk, bunyi dan simbol. Bentuk 'es' itu sendiri. Lalu es dengan simbolisasinya yang dingin. Dan bunyinya yang serupa huruf 's'. Lalu apakah kita mengucap 'es' dengan bunyi 'e' dan 's'. Tentu tidak. Kita ucapkan saja dengan huruf 's'. Yang secara ironis memang, huruf 's' berbunyi serupa benda dingin 'es'.
Contoh lain, saat berkirim pesan 'Dimana?' ke seseorang, sering kita hilangkan kata 'Kamu, Anda, Lu,' sebagai objek kalimat tanya. Menarik juga diperhatikan, kata 'dimana' biasanya harus didahului kata 'berada'. Hal ini guna menunjukkan preposisi atau tempat untuk kalimat tanya. Kenyataanya, biar praktis kita gunakan saja 'Dimana' plus (kadang) dengan '?'. Kita yakin benar orang yang kita tanya keberadaannya tahu pesan yang kita kirim bukan? Tentunya iya.
Dari kedua contoh diatas, ada pengurangan dari informasi yang kita gunakan. Kita cenderung mengurangi informasi yang superfluous, redundant atau berlebihan. Namun informasi yang berkurang ini tidak menghilangkan makna yang muncul. Pengurangan informasi Inilah yang disebut dengan Redundancy Reduction (RR). Dimana dalam informasi yang ada di sekitar kita sebenarnya begitu banyak, namun kita cenderung mengacuhkannya.
Dalam mem-frame isu Ahok ini, maka RR pun terbukti dengan deviasi yang telah terjadi. Jika ayat yang dianggap telah 'dieksploitasi' oleh Ahok maka pelanggaran terjadi. Namun berbeda konteksnya jika ayat ini dieksploitasi cendekia empunya ayat tadi. Keabsahan dari empunya ayat dianggap superfluous atau berlebihan. Â Dalam konteks sehari-hari, biasa saja. Namun dianggap lancang (deviasi) jika Ahok yang mengeksploitasi ayat tersebut.
Kita (umat mayoritas) mengganggap cendekia intern wajar menggunakan ayat tadi untuk mungkin segala 'kepentingan. Dan dalam isu ini, tentunya banyak yang merangkumnya dalam sosial politik. Namun tidak dengan individu eksternal. Dalam konteks yang saya bahas, ternyata konsep RR ini menjadi palpable atau terasa. Karena terjadi deviasi menyoal eksploitasi ayat. maka RR muncul ke permukaan. Menjadi entitas yang implisit terselip dalam polemik ini.
Serupa sensor indrawi di tubuh kita. Kita bisa membedakan perubahan cuaca dari panas ke dingin dengan baik. Namun saat cuaca panas saja, indera kita cenderung mengacuhkan. keadaan sekitar. Dan begitulah RR ini terjadi dalam tiap kepala kita. Kita begitu maklum akan apa yang wajar adanya. Namun begitu perhatian, bahkan sinis saat terjadi hal yang diluar kebiasaan.Â
Dan inilah framework RR dalam polemik Ahok dan dugaan pelecehan ayat, bahkan agama. Kita (umat mayoritas) begitu resisten jika ada pihak luar menginjakkan kaki di 'lahan' yang dikuasai. Walau 'lahan' tersebut tak lain adalah media propaganda kepentingan pribadi, golongan dan kelompok. Dan mereka ini tentunya berasal dari 'inner circle' dari 'lahan' yang digarap bersama  untuk kebaikan bersama (seharusnya).
Salam,