Entah karena kreatif secara ekonomis atau culas, siap-siap saja ada penimbun rokok nanti. Mereka beli dengan harga sekarang untuk dijual dengan harga 'kompetitif' nantinya. Contoh saja, di warung atau minimarket harga 'resmi' bisa sekitar 50-70 ribu, bisa saja dijual 40-50 ribu. Walau ada kertas cukai yang jelas tertera harga lama. Perokok mau tidak mau membeli harga yang lebih 'murah' dari di toko tentunya. Para penimbun bisa untung besar dong.
Lalu akan ada 'black market' rokok. Para penimbun akan memiliki penjual serupa 'pengedar'. Para pengedar ini bisa saja terang-terangan menjual rokok murah mereka di tempat umum. Sampai mungkin merasa warung dan minimarket merugi, pengedar ini akan ditindak. Belum ada peraturan jelas untuk mencegah mereka. Hanya saja demi 'mengendalikan' situasi jual-beli rokok resmi, pengedar ini dikontrol.
Lalu akan ada protes beberapa kelompok penimbun. Â Mereka merasa apa yang mereka lakukan legal. Karena mereka sudah membeli rokok dengan harga cukai lama untuk dijual di iklim harga baru. Tidak ada yang salah dengan mengambil keuntungan dari iklim. Pihak terkait mulai kelimpungan mencegah para pengedar yang semakin nekat. Pemilik warung dan minimarket pilih diam dan menyerahkan anomali ini kepada pemerintah.
Pihak terkait tahu rokok hasil timbunan akan mengalami kadaluarsa pada akhirnya. Namun keuntungan para penimbun sudah berlipat. Pasrah pada keadaan, pihak terkait hanya diam saja. Para pengedar semakin leluasa menjalankan 'usahanya'. Mereka mengeteng rokok dengan lebih murah ke warung yang mau menjual lebih murah. Dengan sedikit keuntungan yang mereka peroleh dari rokok para penimbun, mereka pasrah saja. Karena rokok seperti ini yang banyak dicari.Â
Mungkin diatas adalah ilustrasi jika harga rokok benar naik drastis menjadi 50 ribu. Para 'ahli hisap' akan tetap mencari merek rokok kesayangan mereka. Namun dengan jalan yang lebih ekonomis dari harga pasaran. Rokok 'black market' yang dicipta para penimbun menjadi pilihan nantinya. Lidah dan mulut perokok tentunya bisa membedakan rasa rokok 10 ribu dan 20 ribu. Kalau sudah cocok yang premium kenapa harus beli yang filter. Karena pria punya selera.Â
Dan dilema selera dari masing-masing perokok tentunya berimbas secara luas nantinya. Saat demand melimpah, supply para penimbun bisa memenuhinya. Ditambah faktor lebih murah 10 - 20 ribu dari harga di warung dan minimarket, menjadikan rokok dari penimbun lebih menarik. Sedang penimbun tentunya akan meraup untung berlipat.
Dan fenomena sosio-psikologis ini bisa saja menjadi viral dan anarkis nantinya. Walau dengan batas kadaluarsa rokok yang tidak lama. Namun persaingan penimbun dengan warung dan minimarket bisa saja menjadi kasus nasional. Rokok bagi sebagian orang menjadi kebutuhan sekunder bahkan tersier. Namun bagi para penikmat mungkin bisa menjadi primer. Dan saat kebutuhan primer dihambat pemenuhannya dengan harga selangit. Konsekuensinya pasti bisa teriat di masyarakat.
Dan saya yakin ada beberapa orang berduit yang ambil ancang-ancang menimbun rokok saat ini. Dan tunggu saja fenomena sosio-ekonomis yang akan dilaurt bersama efek psikologis merokok di masa nanti. Kebijakan rokok dilambungkan harganya menjadi 50 ribu baik pada satu sisi. Tidak enak juga bagi para perokok yang kadung ketagihan. Di niche dari dua sisi kontra ini, ada peluang yang diciptakan.Â
Salam,
Wollongong, 22 Agustus 2016
12:58 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H