Kenapa harus pakai kerupuk di lomba 17-an? Kenapa tidak kue bolu, donat, atau sekalian pizza biar lebih mantab? Apa sih kerupuk itu. Cuma makanan yang zaman saya kecil 50 perak kini paling mahal 1,000. Makanan yang ringan, bahkan ringan sekali. Beratnya ringan, apalagi harganya. Kerupuk adalah makanan pelengkap nasgor, soto, laksa, gado-gado dsb. Makanan pinggir jalan yang orang Indonesia makan sehari-hari. Belum pernah saya tahu lasagna dimakan bareng dengan kerupuk?
Kenapa harus kerupuk? Dari jaman saya SD sampai saya jadi sekretaris RT, lomba 17-an tidak lepas dari lomba makan kerupuk. Dari desa di kaki gunung dan dekat sawah sampai komplek mewah di kota, siapa yang tidak tahu lomba makan kerupuk. Dari negri sendiri sampai negri orang lain, lomba ini pun tak lekang saat memperingati hari kemerdekaan. Hebat sekali si lomba makan kerupuk bisa dibawa go international.
Kenapa harus kerupuk? Mari sejenak kita renungkan kesederhanaan yang lebih kompleks dari yang sekadar kita lihat.
Kerupuk adalah pendamping enaknya kuliner negri sendiri. Sesering apapun kita makan burger, fried chicken, pizza, dll, apa pernah kita barengi dengan kerupuk. Nasgor kambing, gado-gado, ketoprak, soto atau coto, dll, adalah 'kawan sejati'. Rasa kerupuk entah kenapa akan lebih enak dengan kuliner nusantara. Jadi, kerupuk adalah pengingat kuliner nusantara. Mengingat kuliner juga mengingat rasa yang sudah melekat di lidah kita. Lidah kita adalah lidahnya orang Indonesia. Percayalah, hal ini tidak berubah.
Kerupuk adalah kesederhanaan dalam keragaman Indonesia. Dari mulai desa di ujung Papua sana, perumahan padat di jakarta, sampai desa kecil di pulau Weh, semua tahu lomba makan kerupuk. Karena kerupuk begitu sederhana dan merakyat. Dan justru dengan kerupuk, ada rasa kebersamaan yang dibangun. Semua jadi tahu cara membuat lomba makan kerupuk. Orang Indonesia pun tahu tips dan trik memenangkan lomba makan kerupuk. Kerupuk menyederhanakan makna kesatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Kerupuk itu ringan namun jumud dengan makna. Saat mempersiapkan lomba 17-an, semua bergotong royong. Saat memotong tali untuk menggantung si kerupuk semua ingin ikut serta. Saat para peserta memakan kerupuk dengan tangan di belakang, semua bersorak gembira. Jika ada yang curang, maka penonton menyoraki. Pemenang pun dielukan. Inilah Indonesia sesungguhnya. Di lomba kerupuk kita tidak pandang suku, ras, agama peserta. Kita tidak perduli dia orang kaya, miskin atau warga baru, kalau ia menang kita apresiasi. Inilah kesatuan makna yang begitu jumud di lomba makan kerupuk.Â
Kerupuk itu begitu sepele bagi sebagian orang sebelum 17 Agustus. Namun tengoklah saat kerupuk mempersatukan kita di lomba 17-an. Tidak ada orang yang akan bersedih ikut lomba makan kerupuk. Kegembiraan yang ada sejatinya adalah rasa syukur dalam kebersamaan. Tidak seru jika lomba makan kerupuk dilakukan sendiri. Dan yakinlah, lomba makan kerupuk akan menjadi legasi untuk generasi penerus bangsa ini.Â
Indonesia 71 Tahun Dirgahayu
Salam,
Wollongong 15 Agustus 2016
04:13 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H