Benar adanya jika dunia adalah panggung sandiwara. Sandiwara menempa rasa, cipta dan karsa manusia seutuhnya. Dalam tiap peranan, tiga hal tadi berbaur menguatkan peran. Peran yang sejatinya seperti topeng. Topeng maya yang saat kita hidup akan diberi, digunakan, dan diperdalam. Di tiap panggung kehidupan, peran kita pun berubah-ubah. Sampai kadang kita lupa, peran sejati kita. Karena topeng peran yang sudah diresapi menjadi diri.Â
Fase hidup pun dicirikan perannya masing-masing. Fase yang  jika usia bisa sampai renta, akan terus berganti. Kadang peran diberi. Kadang peran dibuat sendiri. Kadang peran berganti begitu lama. Kadang ia berganti begitu cepat. Peranan serupa bunglon. Ia akan berubah sesuai lingkungan. Namun itulah tuntutan.
Peran pertama ada di fase balita. Saat seorang bayi lahir, ia akan diberikan peran. Bayi menjadi mahluk empunya ayah-ibu. Ia akan begitu dirawat dan disayang. Bayi adalah peran yang ditulis kedua orangtuanya. Kadang ditulis oleh satu orang tua. Bayi akan begitu rapuh tanpa orangtua. Namun bayi juga akan begitu hebat jika dididik oleh dalang yang sempurna.Â
Sampai berusia anak-anak, ia akan tetap menjadi peran yang orangtua tulis. Sebisa dan sekuat apapun, orangtua sebagai sutradara si anak menulis skenarionya. Anak akan terus hidup sesuai perannya sebagai anak ayah-ibu. Sebagai generasi bangsa pada umumnya. Sebagai pemeluk agama seperti biasanya. Konvensi yang begitu banal. Namun dibumbui dengan karakter orangtua. Sampai kadang orangtua lupa, peran anak harus berganti.
Peran kedua ada di fase remaja. Fase anak memiliki karsa yang begitu besar. Anak menjadi remaja yang begitu menggebu. Gelora jiwa mereka kadang memberontak. Berada dalam kebingungan peran sebagai anak dan hendak menjadi dewasa. Peran remaja begitu absurd dalam pencariannya. Mungkin karena orangtua mereka dulu lupa untuk membekali anak untuk menulis cerita mereka sendiri. Lalu anak mencoba berperan sendiri dalam hidup.
Tersesat dalam pengukuhan cita diri untuk peran yang dicari, remaja banyak yang coba-coba. Trial dan error mereka lalui. Baik dan buruk mereka telan. Gelora mereka mencari peran kadang kebablasan dalam pencariannya. Banyak yang begitu bangga dengan keburukan. Karena peran buruk mudah dan cepat dikenali. Menyesal akan peran yang tidak sesuai konvensi norma urusan belakangan. Karena saat mereka dewasa nanti, mereka bisa berbenah peran. Benarkah?
Fase hidup ketiga ada di fase dewasa. Melalui peran remaja yang didera kebingungan, panggung hidup menohok mereka. Saat remaja mejadi dewasa, mereka dipaksa memainkan peran. Saat orangtua mereka menjadi renta dan bergantung kepad anak-anak mereka, menjad dewasa adalah peran paling pahit. Mencoba mengambil peran untuk mencari rezeki sendiri. Lalu beralih menjadi orangtua untuk mencontohkan peran ke anak-anak mereka nanti.
Peran fase dewasa begitu jumud dengan banyak topeng. Setiap topeng peran yang dipakai dicocokkan tempat dan kondisi. Mau tidak mau mereka menjadi profesional saat bekerja. Namun begitu kekanakan saat dekat dengan pasangan mereka. Juga begitu tegas dan bijaksana saat bercengkrama dengan anak-anak mereka. Atau begitu piawai dan cekatan saat memimpin lingkungan warga. Peran begitu cepat berganti. Namun orang dewasa tiada lelah memerankan tiap topeng.
Fase terakhir ada di masa tua. Kadang bisa menjadi fase pamungkas. Namun banyak juga menjadi masa sedu sedan. Setelah tiga fase peran dalam hidup terlalui, fase ini satu peran menjadi dominan. Kadang peran inipun yang akan banyak dikenang. Peran yang sudah kepayahan dan kesusahan dicari saat remaja dan dewasa menjadi peran utama hidup. Ia akan dikenang manis sebagai peran sesempurnanya manusia. Tuntutan panggung hidup telah ia penuhi.
Nahas, banyak juga fase terakhir peran ini mereka begitu nelangsa. Peran yang dijalani penuh noda. Noda yang mengerak karena justifikasi norma. Peran yang begitu buruk jika diteropong dengan kacamata agama. Namun perihal ini begitu berbeda dengan sudut pandang si empunya peran. Karena dengan peran ini mereka hidup. Karena dengan peran jahat ini pula, kita bisa tahu mana yang baik.Â
Tidak ada peran yang buruk. Akan sangat membosankan jika Mahabarata berisi ksatria serupa Pandawa Lima.