Sudah beberapa kali notifikasi Facebook terlihat di HP seorang ibu. Duh, betapa senang hati si ibu. Foto anaknya yang baru saja bisa jalan mendapat hampir 50 like. Foto itu baru saja diunggah pagi tadi. Komentar dari beberapa orang teman pun terlihat.Â
Ah, nanti saja membalas komentar kalau sudah banyak fikir si ibu. Besok-besok foto dan video anaknya yang bisa jalan akan ibu ini unggah lagi di Facebook. Betapa senang nanti juga nantinya hati si ibu.
Pernahkah ilustrasi diatas Anda lihat atau alami sendiri? Seperti sudah menjadi insting orangtua, bahwa anaknya adalah anak terhebat. Ia akan tumbuh menjadi seorang yang hebat. Dan orang harus tahu hal ini.Â
Dengan media sosial serupa Facebook, Twitter, Instagram, Path, dll, berbagi kegembiraan tidak ada salahnya dengan meng-upload foto anak-anak kita. Atau, dengan berbagi cerita melalui Blogspot, Wordpress, dsb soal sulitnya anak kita berhenti mengompol. Menjadi cara berbagi kehidupan dan cerita seorang anak, secara online.
Satu atau dua kali berbagi foto atau cerita tentang ‘nakalnya’ anak kita mungkin masih wajar. Bagaimana jika berbagi seperti ini menjadi sebuah adiksi. Maka bisa saja Anda terjangkit sindrom sharenting.Â
Sharenting secara harfiah adalah blending dari kata share dan parenting. Sebuah istilah urban untuk orangtua yang terlalu berlebih berbagi semua hal tentang anak mereka secara online.
Sisi Negatif Sharenting
Tentunya hal pertama yang terlihat dari (over)sharenting adalah privasi anak kita yang dilanggar. Pernahkah Anda membayangkan ketika anak Anda dewasa dan melihat album fotonya di Facebook yang begitu banyak? Untuk saat ini foto-foto ini menjadi momen terindah yang dibagi.Â
Bagaimana dengan di masa depan? Atau lebih mengkhawatirkan, anak Anda nanti akan di-bully. Karena teman-teman sekolahnya tahu foto saat anak mengompol diantara ratusan foto dalam album Facebook Anda.
Riset Brandwatch menyimpulkan bahwa 43% posting sharenting di sosmed dilakukan oleh si ayah. Lebih mengejutkan, hasil survey dari 2,000 pengguna sosmed yang dilakukan The Parent Zone menemukan bahwa rata-rata orangtua akan mem-post 1,000 foto anak mereka sebelum anak berusia 5 tahun.
Dampak lain yang lebih berbahaya pun bisa terjadi. Seperti kasus foto anak Ruben Onsu yang sudah terjadi. Foto-foto anaknya dari Instagram disalahgunakan oknum tidak bertanggungjawab. Foto anaknya menjadi iklan bayi yang diperjual-belikan online.Â