[caption caption="A Dark Room - ilustrasi: forum.bodybuilding.com"][/caption]
“Saya ga nyaranin lho mas buat masuk ke ruangan itu?” larangku serius. “Ah, ra popo dik. Aku wani gur gelap ngene…” jawab mas Dimas ketika masuk ke dalam ruangan. Ruangannya gelap. Bau apak menyeruak. Seperti sudah tahunan kamar ini tidak pernah dibuka. “Dulu ruang ini kanggo opo to dik?” tanya mas Dimas. “Dengar-dengar ini kamar buat pesugihan mas. Kata bi Tinah sih gitu” jawabku sambil memandang langit-langit gelap ruang ini. Lama mas Dimas tidak menjawab. Aku yakin ia tadi ada di depanku. “Mas… mas Dimas?” ku tinggikan suara. Senyap. “Mas, jangan main-main lho mas..??” suaraku mulai cemas. “Dik..dik Heri..? Kamu ngapain di dalam sana?” Suara mas Dimas bergema dari pintu yang kami masuki tadi. “Mas..mas…??!” ku panggil mas Dimas. Berdegup kencang hatiku. Ku dengar suara mas Dimas dari luar pintu. Redup lampu membimbing jalanku keluar. Tapi ruang ini terasa panjang. Yang ku tahu, aku tidak pernah sampai ke pintu.
- - o - -
Nirwinda mengubur bagian tubuh sampai kaki. Sedang Febrian masih sibuk memotong kepala Benyamin. Sepasang suami istri yang sudah begitu muak ditagih hutang Benyamin. Sore tadi Benyamin menyambangi rumah mereka. Tanpa belas kasih, Febrian menebas leher Benyamin hingga nyaris putus. Nirwinda langsung menyiapkan semua peralatan untuk memutilasi Benyamin. “Craak…craak!” Febrian memotong leher Benyamin yang sudah hampir terlepas kepalanya. Fikiran pasutri ini sudah penuh dendam dan benci. Pekerjaan mereka pemuka agama nampaknya tidak merubah setan dalam diri mereka.
- - o - -
“Ben, jangan acak-acak sajen itu lah” larang Andre. “Ah… Cuma sajen ini Ndre. Klenik banget!” sergah Beni cuek. “Ya hormati budaya sini lah Ben. Kalau dimarahi orang sini gimana?” ujarku member alasan masuk akal. “ Percaya tuh tuhan Ndre. Bukan kaya gini? Apa pula ini sajen ditaro di bawah pohon gede.” sambil menendang sajen, Beni malah semakin menjadi. “Buuk!” Beni tiba-tiba roboh. Mulut Beni menganga. Sedang matanya melotot. “Ben..Ben kamu ga apa-apa?” tanyaku panik. “Tinggalkan anak muda ini disini!” Beni berucap. Namun kini suaranya parau. “Kini ia adalah sajenku!!” membelalak mata Beni melihatku. Pandangku menghitam. Terbangun, aku sudah berada di tepi jalan. Masih tak sadar, ku telpon Beni. Mungkin ia berada di pos dan bisa menjemputku disini.
- - o - -
Setan atau hantu tak pernah perduli siapa dirimu. Yang mereka tahu, mereka ingin kamu tahu. Kalau mereka ada. Bisa saja di belakangmu. Mungkin disampingmu. Atau mungkin ketika kamu berbaring di tempat tidur. Menemanimu selama ini. Atau? Jika kamu selama ini belum melihat ke dalam cermin. Cobalah lihat sekali lagi. Apa bayanganmu ada di cermin?
Cerita lainnya: #1 | #2 | #3 | #4 | #5 | #6 | #7 | #8 | #9 | #10 | #11 | #12 | #13 | #14 | #15 | #16| #17| #18| #19| #20| #21| #22| #23| #24 | #25 | #26 | #27 | #28 | #29 | #30 | #31 | #32 | #33 | #34 | #35 | #36 | #37 | #38 | #39 | #40 | #41 | #42
Salam,
Solo, 10 Desember 2015
10:51 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H