Tidak peduli itu fitnah atau tidak sesuai fakta. Agama adalah komoditas pembakar semangat saling benci. Begitu ahli dan cekatannya para oknum memodifikasi propaganda dengan kebencian, haters pun terbuai.Â
Sedang harusnya agama suci dari syahwat berkuasa dan nafsu menguasai kekayaan, perduli amat jika Jokowi yang akan berkuasa. Borok dan ketidakmampuan memberi sumbangsih berarti untuk bangsa ini ditutupi dengan katarsis benci kepada sang Presiden. Selamanya?
Haters tidak tetap menjadi haters. Ada pula yang tobat dan tetap dalam 'kekafiran' perspektif pada sang Presiden. Bagi haters yang tobat, bukan berarti ia harus berhenti mengkritisi.Â
Saat hati tersadar benci adalah pengubur kebahagiaan dan kebebasan berpendapat, para haters tobat lebih mengkritisi dengan cara yang baik. Sikap kritis hadir sebelum rasa benci.Â
Apa yang Jokowi lakukan ia kritisi, lepas dari rasa benci. Saat menemukan fakta dan bukti, maka ia akan mengapresiasi. Jiwa besar atas kritiknya yang cenderung negatif berubah menjadi sikap suportif. Kritik membangun pun disampaikan. Baiknya juga, membenarkan pandangan mereka yang ia anggap haters.
Lalu bagaimana dengan haters yang tidak bisa move-on? Membenci tetap menjadi makanan sehari-hari. Ngomel macetnya Jakarta, sementara ia punya 2 mobil di rumah.Â
Mendahulukan benci daripada perpektif kritik membangun adalah proses pikirnya. Saat benci menutup perspektif, tidak ada lagi logika. Ditambah wejangan kebencian yang bernuansa agama, benci bukanlah benci.Â
Ia adalah 'pembuka mata' dan 'kabar buruk' yang harus segera diberitakan untuk orang lain. Harus tetap gigih dan militan dalam menyebar kebaikan ini. Guna saling menasehati sesama, tidak boleh lelah. 1 sampai 10 tahun sekalipun, 'kebaikan' ini harus terus diperjuangkan.
Haters yang terus dongkol pun akan berubah. Seperti kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu, mereka sudah berubah. Bukan lagi haters yang seharusnya kita sandingkan. Sebut saja mereka avengers atau pendendam.Â
Salam,
Solo, 23 Oktober 2015