Â
Saya agak bingung memberi judul artikel ini. Juga agak minder mencoba mengkiaskan dengan bahasa Inggris 'New Wave of Great Natural Selection'. Padanan dalam bahasa Indonesia sebenarnya ada yaitu 'Gelombang Baru Seleksi Alam Hebat'. Tapi, padana ini agak tidak eye-catching dan terdengar terlalu masuk ranah evolusionis. Sedang dalam bahasa Inggris, kuotasinya bisa masuk ke dalam konteks yang lebih besar. Natural selection pun bisa berarti kejadian yang pensortiran yang alami. Dan dalam konteks ini, Kompasiana baru serasa memberi saringan yang lebih 'ketat' untuk Kompasianer.
Saya tidak mencoba mendikotomi Kompasianer 'baru' atau 'senior'. Karena kadang yang dinilai secara sub-conscious adalah karya dan branding penulis dengan tulisannya. Ada Kompasianer baru namun tulisan menyoal politiknya bergas dan berisi. Hal ini bukan berarti dia 'baru' dalam dunia karya tulis. Ada juga penulis senior yang memiliki branding artikel khas, walaupun ia mungkin bukan dari kalangan jurnalis atau profesi kepenulisan. Di Kompasiana semua tumpek-blek dan dikotomi yang ada bukan semata 'baru' atau 'senior'. Dan, Kompasiana baru sepertinya kembali menyeleksi para Kompasianer.
Dan saya sendiri yang masuk seleksi, dan kini menjadi penulis abal-abal. Sejak Kompasiana Beta hadir, saya menjadi silent reader. Saya pun bukan sekadar silent, tapi inactive selama beberapa waktu menulis. Bukan tidak mau menulis, tapi menunggu waktu Kompasiana 'baikan'. Dan akhirnya, hanya satu artikel yang hadir selama dua minggu kemarin. Betapa Kompasiana seolah adalah pendorong saya menulis. Dan dengan Kompasiana baru, saya terseleksi menjadi penulis abal-abal. Menulis hanya karena ada Kompasiana. Menulis karena ingin kelihatan keren artikelnya di HL/TA.
Duh, saya ternyata menulis karena ada Kompasiana saja. Begitu jenak saya berfikir. Walau 'great natural selection' di Kompasiana sendiri sudah ada dari Kompasiana hadir 2008 lalu. Saya 'berhasil' melewati seleksi yang pernah terjadi. Namun, bukan suatu hal yang patut dibanggakan memang. Saya berhasil melalui masa 'panas-panasnya' Kompasiana saat Pilpres 2014 lalu. Artikel dan penulis yang saling adu jago Capresnya 'bertarung'. Cyber army atau pasukan nasi bungkus berkeliaran di Kompasiana. Seperti artikel saya ini Menohok Akun Penebar Komen Kebencian di Kompasiana.
Kini, dengan Kompasiana tampilan baru 'seleksi alami' pun terjadi. Mungkin saja Kompasianer mulai malas pada awalnya sekadar membaca. Lalu menjadi malas untuk mem-publish artikel. Karena saking lamanya inactive, jadilah mereka off dari Kompasiana. karena menurut observasi awam saya, di profil kita pun sekarang sudah tidak ada lagi yang 'patut dibanggakan'. Tidak ada lagi artikel ber-badge HL. Apalagi jumlah hits (dibaca) dan vote. Dan 'diperparah' tidak ada lagi jumlah artikel yang kita tulis selama mungkin bertahun-tahun. Juga, pengkategorian artikel, baik bidang maupun bulan lenyap dari profil Kompasiana. Ya, mungkin saya kurang sabar saja menunggu semua ini 'dikembalikan'.
Saya pun mengakui, isi profil di Kompasiana lama menjadi kebanggaan tersendiri. Ada tahun kita bergabung dengan total artikel dan rekam jejak artikel perbulannya. Juga dengan kategori bidang yang kita tahu, baik politik, sosbud, media, kesehatan, dll. Juga badge HL yang 'mentereng' ada di tiap artikel. Seolah profil saya itu adalah 'hall of fame' pribadi dengan bergabung di Kompasiana. Yang kini kesemuanya seolah terenggut oleh Kompasiana baru. Dan mungkin pula, hal ini menghinggapi saya. Lalu saya menjadi penulis abal-abal. Karena berpatok pada 'hall of fame' saya yang saya kira bukan apa-apa. Apalagi untuk dunia blogging dan kepenulisan.
Kini, saya mencoba bangkit. Mencoba menghela nafas dan menuang kata kembali ke Kompasiana. Karena saya tahu, tulisan ini akan menemukan pembacanya sendiri. Karena tulisan ini cuma sekadar helaan keresahan saya saja. Atau semata unek-unek saya sendiri atas Kompasiana baru. Atau juga perjuangan saya (kembali) untuk tidak menjadi abal-abal. Seperti artikel saya Kompasianer dan Tantangannya ke Depan.
Salam,
Solo. 12 Juni 2015