Tidak ada yang baik dari Jokowi, bahkan saat ia menjadi Walkot Solo. Kata umpatan yang kadang mengernyitkan dahi bagi yang mendengarnya bisa muncul. Status mereka di sosmed pun tak lain menertawakan dan bersuka-ria di atas 'derita' Jokowi.Â
Derita yang Jokowi harus tanggung karena ia bukanlah presiden yang sesuai untuk Indonesia. Bully mereka kadang bukan kritik, baik kasar maupun halus, namun lebih pada utter mockery (umpatan langsung). Yang terlihat mungkin cukup, umpatan halus seperti Presiden Jokowi bikin #gila atau mungkin umpatan personal saat ada rekan yang 'seirama' dengan mereka.Â
2. Subtle DisappointmentÂ
Sedang tipe berikutnya, mungkin lebih pada mau-tidak-mau untuk mem-bully. Selain ada kecewa karena ia memilih Jokowi, dan banyak berita negatif yang menyudutkannya, ia pilih diam. Kekecewaan ini bisa mengeras dan melunak. Dengan pemahaman, mengeras saat benar memang Jokowi salah langkah mengambil kebijakan yang memberatkan rakyat. Melunak saat ia menunggu ternyata kebijakan Jokowi penuh trik.Â
Dengan kata lain, menunggu chain of events yang ada berakumulasi menjadi satu hasil yang baik. Status mereka di BBM atau FB biasa saja menyoal Jokowi. Kadang pun 'membela' Jokowi jika chain of events ini semua bermuara pada satu maslahat atau kebaikan.Â
Tipe subtle memang agak 'samar' dikategorikan mem-bully. Namun rasa kecewa yang nyata jika satu kebijakan Jokowi memang salah, ada perasaan meradang. Ada kecewa yang turun-naik, benci di-PHP-in bahasa medsosnya. Namun sabar menunggu, walau hati kadang membenci Jokowi secara halus.Â
3. Criticism Scrutinizing Â
Tipe ketiga, mungkin lebih bisa dikatakan mereka yang menjadi pem-bully 'akademik'. Akademik karena mungkin datang dari akademisi, atau pemburu dan penggiat berita politik ter-update tentang Jokowi. Semua hal tentang Jokowi dan kebijakannya ia paham.Â
Seolah, ia seorang detektif atau forensic auditor yang menganalisa semua kebijakan Jokowi buat. Kritik pedas maupun membangun pun tercipta. Dan semua didasarkan, kadang, fakta secara general maupun satu ranah disiplin ilmu.Â
Semua bisa dikaitkan dengan baik. Mulai dari elite politik, pengamat, penulis, blogger, atau bidang lain yang berkesan semi-formal menjadi corong. Ada pula secara nyata, mainstream media yang seolah-olah mengkritik sedang media lain mendukung.Â
Publik biasanya diomban-ambing deng dua media ini. Namun, untuk pengolah kritik media, sosmed dan opini publik adalah source atau sumber kritik mereka. Bisa terkesan bully, saat kritik terlalu berat pada kesan 'memojokkan' Jokowi. Bisa sangat konstruktif pula.Â