Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cuma Menegur, Haruskah Diakhiri Kekerasan?

4 November 2013   14:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:36 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="(photo: www.smh.com.au)"][/caption] Entah apa yang terjadi dengan masyarakat kita saat ini. Cuma menegur saja, semuanya berakhir dengan kekerasan. Kekerasan yang sama sekali jauh dari faham tepa slira dan musyawarah untuk mufakat yang dulu diwariskan pendiri negri ini. Saya ambil berita teraktual berikut. Kronologi Brigadir Syarif Dibunuh Kernet Metromini (berita: kompas.com) Saat dia hendak naik ke Metromini, sopir tidak menjawab. Setelah di dalam metromini, barulah sang sopir menjawab metromini yang dikemudikannya tidak mengarah ke Pasar Minggu, tetapi kembali ke pangkalan. "Lalu, tiba-tiba, pelaku memaksa korban untuk turun dari dalam bus dengan ucapan kasar. Hal itu tidak disukai korban. Pelaku menyuruh korban turun dan mengatakan Pasar Minggu sudah lewat," ujar Aris, Minggu (3/11/2013). Lantaran tidak terima dengan teguran kasar dari Akim, Brigadir Syarif pun menegurnya, "Kok kamu kasar begitu sama saya. Sopir kamu saja tidak kasar seperti itu." Hingga terjadilah cekcok di atas metromini antara korban dan pelaku. Cekcok berlanjut hingga ke luar metromini. Akim mengeluarkan sebilah pisau, kemudian mengejar Brigadir Syarif dan menusuk senjata tajam ke tubuhnya. Mobil Jazz Tabrak Puluhan Siswa di Halaman Sekolah (berita: kompas.com) Pemuda itu diketahui pacar dari salah satu siswi kelas XII berinisial NT. Kedatangan APT melalui pintu belakang sekolah saat itu untuk mengantarkan makanan. "Satpam menyarankan agar ke BK lebih dulu karena aturannya seperti itu, tapi tak dituruti oleh pemuda tadi," ujar Kepala SMA Hang Tuah 2, Siti Aisyah, Jumat (1/11/2013). Setelah ditegur satpam, lanjut Siti Aisyah, pemuda itu tidak melapor ke BK. Mobil yang semula parkir di halaman sekolah justru dipacu mundur dengan kecepatan tinggi. Tak pelak, lebih dari 10 siswa tertabrak badan mobil dan jatuh bergelimpangan ke lantai hingga mengalami luka di tangan dan kaki. Begitu Mudah Marahkah Masyarakat Kita? Kemajuan zaman dan interdependensi antar negara secara global, memang menyebabkan manusia Indonesia dituntut untuk selalu up-to-date. Di semua hal. Mulai dari fashion dan gadget terbaru, Indonesia dapat dikatakan sebagai pasar. Konsekuensinya, masyarakat lebih menilai diri sebagai individu konsumtif. Semakin Anda membeli, semakin eksis Anda. Tuntutan kebutuhan dan keinginan untuk bisa eksis atau mapan di dunia yang cepat berputar ini, menekan manusia Indonesia. Saat mereka tidak punya prinsip dan falsafah hidup, hidup mereka terombang-ambing dalam lautan konsumen dan prestise. Tuntutan inilah yang merubah mindset masyarakat Indonesia untuk sedikit demi sedikit melunturkan tepa slira dan musyawarah untuk mufakat. Peduli urusan orang lain, kalau urusan saya lebih penting. Lihat saja kedua berita diatas. Sang kernet yang menusuk Brigadir Syarif tentunya dilandasi keegoisan individu. Dimana sejauh yang pelaku fikir, urusan dia sudah selesai, orang lain menegur adalah suatu yang membuatnya risih. Pelaku tidak suka dirusuhi dengan hal-hal yang membuat urusannya terhambat. Selesai menusuk, si kernet kabur meninggalkan sang Brigadir bersimbah darah Kasus kedua, dimana sang supir Jazz, yang katanya anak purnawirawan polisi, tidak mau ditegur oleh satpam sekolah. Perduli urusan orang lain, si supir Jazz hanya mau mengurusi keperluaannya saja. Masa bodo dan tidak perduli dengan teguran yang menghalangi keinginan si supir Jazz. Semua yang dirasa mengganggunya ditimpali dengan kekerasan. Ia menggas mobilnya mundur dan melindas beberapa siswa. Sepertinya sadar apa yang telah ia perbuat, si supir tancapa gas dan kabur. Tanggung Jawab, Hanya Sebuah Kata Dalam kedua kasus diatas, kedua pelaku melarikan diri. Ingin lari dari tanggung jawab dan terlepas dari amuk massa. Adakah tanggung jawab tersisa dari semua kesalahan yang mereka perbuat? Atau masihkah ada nurani yang meneriakkan tanggung jawab dalam hati mereka? Saya fikir tidak. Artikel serupa dari saya. Saat Nyawa Ditukar Selembar Surat Salam, Solo, 04 November 2013 02:08 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun