Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

[Pilpres 2014] Golput Is (Maybe) Waiting for Godot

29 Agustus 2013   12:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:39 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(image: data.seruu.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="496" caption="(image: data.seruu.com)"] [/caption] Menyambut gempita Pilpres 2014 nanti, Capres dan Cawapres sudah mulai menebar citra. Baik melalu media televisi seperti ARB, Wiranto-HT,  Surya Paloh, ataupun Hatta Radjasa. Ataupun spanduk atau baliho disekitar jalan-jalan utama kota besar. Seperti di Solo, yang pernah saya lihat terpampang jelas wajah Capres Surya Paloh. Fenomena pencitraan para Capres tentunya dipastikan menjadi jaring pengumpul suara. Namun, melihat fenomena sekadar pencitraan tanpa "Kerja Nyata" seperti digembor-gemborkan Capres PAN Hatta Radjasa yang kini menjabat Menkoekuin, saya fikir pemilih akan lebih antipati. Perekonomian yang terus mengalami downturn tentunya bukan hasil "Kerja Nyata". Harga melambung tinggi tanpa bisa dicapai tentunya dirasakan dengan sangat mereka yang kurang mampu. Tapi mereka mampu menalar bahwa ada yang salah soal pengaturan ekonomi negara. Lebih lagi dengan santernya ARB bersorak dengan kendaraan politiknya "Suara Golkar, Suara Rakyat". Saya fikir, rakyat yang mana? Toh kalo dinalar iklan tersebut mencantumkan kata "Rakyat" tanpa kata Indonesia, jadi konteksnya cukup jelas. Ya, rakyatnya Golkar. Koar-koar citra yang selama ini dipamerkan ARB lewat penguasaan media (ANTV, dan TvOne) tetap menjadikan saya dan istri saya skeptis. Dan pemilih cerdas pun saya fikir akan berfikir panjang kali lebar kali tinggi memilih beliau. Kemudian, ketergesaan Wiranto-Harry Tanusoedibjo yang melangkahi kewenangan konvensi Capres-Cawapres partai Hanura lebih tercermin sebagai kesempatan saja. Kesempatan Capres Wiranto melebarkan citra dengan penguasaan media dan lebih lagi suntikan dana yang saya pun hanya bisa mengira, tanpa tahu jumlah pastinya. Kemudian Surya Paloh yang selalu mendapat alokasi waktu yang 'banyak' dalam setiap pemberitaan Metro TV, demi pencitraan. Surya Paloh dengan badan besar, jenggot besar, wajah sayu dan ramah bak sang bapak menjadikan citranya selalu 'sempurna'. Namun sejauh saya tahu, sumbangsih beliau belum pernah saya tahu dan rasakan. Golput

"A vote is like a rifle: its usefulness depends upon the character of the user." - Theodore Roosevelt

Fenomena Pilpres 2009 dengan jumlah pemilih golput sebesar 49.677.776 atau 29, 0059 persen menjadikannya pemenang tidak sah. Jumlah tersebut secara resmi juga dimaktubkan dalam surat penetapan KPU mengenai perolehan suara nasional pemilu legislatif. Total pemilih yang menggunakan hak suaranya 121.588.366 dari total daftar pemilih tetap (DPT) 171.265.442. (berita: kompas.com) Lalu, dimana sebenarnya pijakan filosofis pemilih Golput itu? Pemilih Golput nanti ada yang memang tidak memilih karena tidak suka ataupun tidak tahu siapa calon pemimpin mereka. Namun jauh di dalam benak mereka ini, tersimpan simbolisasi yang cukup jelas. Yaitu, suara yang akan mereka beri secara ikhlas dan meyakinkan tinggal menunggu waktu saja. Menunggu untuk calon yang tepat. Menunggu. Ya, merekalah para penunggu. Pemilih yang benar-benar secara ikhlas memberikan suaranya kepada Capres dan Cawapres yang mereka benar-benar tunggu. Entah siapapun mereka, haruslah 'sreg' dengan penalaran dan perasaan mereka. Pemilih ini akan menjadi pemilih cerdas yang tahu secara benar track-record Capres dan Cawapres. Pemilih ini merasa sumbangsih para (nanti) Capres-Cawapres mereka terasa sekali dalam kehidupan mereka. Karena itu saya fikir, mereka akan secara ikhlas dan meyakinkan memberikan suaranya. Jangan sampai 5 menit mereka dalam bilik suara membawa mudarat 5 tahun ke depan. Jangan sampai surat suara yang sepele harganya tersia maknanya dengan pilihan mereka yang mengkorupsi isi negri mereke. Ini yang secara simbolis terjadi dalam pola penalaran dan perasaan para pemilih Golput. Dan saya fikir yang kita anggap ketidak pedulian atau ketidak inginan berpartisipasi pemilih Golput lebih mensimbolisasi kesabaran mereka menunggu sang pemimpin bangsa yang benar-benar bisa menahkodai Indonesia di lautan globalisasi yang terombang-ambing ini. Solo, 29 Agustus 2013 12:34 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun