[caption id="" align="aligncenter" width="597" caption="(snapshot: media.viva.co.id)"][/caption] Kyai bersorban yang emosional di Karawang itu kini ditetapkan tersangka. Sungguh aneh dan nyengar-nyengir sendiri saat menyaksikan video kyai yang memaki Polantas karena hendak ditilang. Kyai yang sudah cukup tua, dengan memakai sorbannya dengan emosi menolak ditilang dan memuntahkan kekesalannya kepada polisi lalu lintas. Dengan raut wajah dan mimik yang penuh luapan emosi, si kyai terekam kamera sedang mencasi maki Polantas pada operasi Lodaya Zebra di Karawang. Ia dijadikan tersangka, karena diduga melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan penghinaan pada sejumlah anggota Satlantas Polres Karawang, saat dilakukan Operasi Lodaya Zebra pekan lalu. "Rabu (11/12/2013) yang bersangkutan kami periksa. Saat itu juga, kami tetapkan SI jadi tersangka," kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Karawang, AKP Mirza Maulana melalui ponselnya, Kamis (12/12/2013). Ia mengatakan, pihaknya telah memeriksa sejumlah saksi dan mengumpulkan barang bukti untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka. "Delapan saksi kami periksa. Dengan alat bukti yang cukup, kami berkeyakinan menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka," katanya. (berita: tribunnews.com) Surban Si Kyai, Penegas Sensasi Berita Ini Sejatinya, berita mencaci maki Polantas jika dilakukan orang tua tanpa menggunakan surban, tentunya dianggap biasa. Namun, bumbu penyedap bumbu di media adalah atribut surban. Sebuah atribut yang di Indonesia menjadi lambang mereka yang selalu berkutat dengan sisi religi dalam hidup. Dan tentunya, dalam pandangan orang awam, kalau sudah pakai surban tentunya ilmu agamanya 'tinggi'. Melebihi orang yang cuma memakai peci hitam atau peci putih haji. Dan sifat atributif surban yang 'hyper-religius' ini tentunya yang membuat siapa saja yang menonton video maki-maki dari kyai bersurban ini heboh. Orang awam tentunya akan berfikir, "Lho...kog pak kyai kog kaya gitu??" Sebuah konsepsi umum, bahkan buat para cendikia. Memakinya si kyai di tempat umum, dan tentunya dengan konteks melanggar aturan lalin semakin mempertegas keheranan kita semua. Dengan santainya mengendarai motor tanpa helm di jalan raya. Ditambah terkena razia lalin, tentunya memperkuat sisi 'hyper-religius' si surban yang tercoreng. Terjadi karut-marut antara konsepsi surban, pelanggaran lalin, dan mencaci maki. Sebuah tornado dekonstruksi sisi hyper-religius si surban si kyai. Sehingga simbolisasi dalam fikir kita menjadi runtuh seketika. Walau bersifat kasuistik, namun citra media yang cenderung meng-highlight kasus ini dapat mengeruhkan simbolisasi surban secara umum. Dan pada akhirnya, kita semua dapat berfikir bijak. Semoga sang kyai bertaubat dan segera meminta maaf pada masyarakat atas tindakannya yang kelewat batas. Sehingga ada penjelasan yang baik dan sikap ksatria sejati dari seorang kyai. Salam, Solo, 12 Desember 2013 09:33 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H